Kamis, 30 September 2010

Bolehkah Memotret di Museum? - Bag 2


Melanjutkan tulisan tentang boleh tidaknya memotret di museum, saya mencari info ke beberapa museum di Bandung terkait kebijakan potret-memotret ini. Berikut ini adalah hasilnya:

Museum Sri Baduga: boleh dan bebas memotret

Museum Konperensi Asia Afrika: 
boleh memotret tapi terbatas di area yang telah ditentukan (Ruang Konperensi, Ruang Diorama, dan Ruang Bola Dunia)

Museum Pos: boleh dan bebas memotret

Museum Mandala Wangsit: tidak bisa dihubungi

Museum Geologi: boleh dan bebas memotret

Museum PUSPA IPTEK: 
boleh memotret di area museum (dalam dan luar) sepanjang untuk keperluan pribadi dan tugas sekolah. Untuk keperluan komersil harus mendapat izin khusus

Museum Barli: boleh memotret di sekitar galeri, boleh memotret lukisan KECUALI karya Barli

Selasar Sunaryo:
boleh memotret di luar galeri tapi dengan izin. Di dalam galeri tidak boleh ada potret-memotret.

Yang membolehkan dan membebaskan potret-memotret beralasan untuk kesenangan pengunjung supaya mereka mempunyai kenang-kenangan bahwa mereka pernah berkunjung ke museum-museum dimaksud. Museum dan galeri lukisan melarang dan membatasi potret-memotret dengan alasan hak cipta dan untuk keamanan koleksi dari kerusakan akibat lampu kilat dari kamera.

Museum Pendidikan Pertama Berdiri di Yogya


Ternyata negeri kita memiliki museum pendidikan. Tulisan ini merupakan berita di harian Sinar Harapan tertanggal 9 Juli 2008. Semoga  bermanfaat bagi yang membutuhkan informasi semacam ini.
Yogyakarta-Museum Pendidikan pertama di Indonesia yang dimiliki Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) diresmikan Selasa (8/7). Peresmian ini bersamaan dengan didirikannya Pusat Pengolahan Sampah dan peluncuran Industri Bola.

"Museum ini memang dikemas untuk pendidikan, yakni mengenalkan kepada masyarakat proses yang terjadi hingga dewasa ini. Ada suryo sengkala ngesti luhur utoro katon yang bermakna bahwa pendidikan itu melahirkan keluhuran budi," kata Rektor UNY Sugeng Mardiyono.

Sugeng mengatakan keberadaan Museum Pendidikan ini juga dapat sebagai wahana rekreasi yang mendidik sekaligus sebagai wisata edukasi. Dalam museum yang dibangun dengan dana Rp 2,25 miliar tersebut menyimpan berbagai benda asli maupun reproduksi yang menggambarkan sejarah pendidikan dari zaman kolonial hingga reformasi.

"Ada koleksi yang menggambarkan kronologi perkembangan proses pendidikan, termasuk model pendidikan alternatif yang pernah ada hingga kini," kata Sugeng.


Di antara koleksi museum yang menggambarkan proses perkembangan pendidikan di Indonesia
ini adalah meja dan kursi belajar model lama, alat tulis sabak, juga ada sepeda kuno yang dipakai guru-guru zaman dulu. Selain itu juga terdapat foto-foto tokoh pendidikan sejak Ki Hadjar Dewantara hingga Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.


Sementara itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pada kesempatan itu juga hadir, menyatakan keberadaan bangunan museum layak jadi wahana pendidikan di luar rutinitas belajar-mengajar. Para pengunjung dapat mengenali pendidikan di masa awal sebelum kemerdekaan hingga alat-alat bantu pendidikan di masa sekarang.


Hanya saja yang perlu dicermati dan dipikirkan, lanjut Sultan, rendahnya minat masyarakat untuk mengunjungi sebuah museum. Benda-benda yang ada di museum padahal bisa menjadi sumber inspirasi bagi ilmuwan terutama generasi muda. Dengan begitu, diperlukan sebuah strategi untuk menarik minat pelajar untuk mengunjungi tanpa ada paksaan.
(yuyuk sugarman)
   
     
Copyright © Sinar Harapan 2008

Rabu, 29 September 2010

Oleh-oleh dari Jepang


Tulisan menarik ini ditulis oleh seorang dosen yang sedang belajar di Jepang. Saya ingin membaginya dengan Anda semua. Semoga bermanfaat.

Museum dan Orang Jepang
Selama tinggal di Jepang hingga detik ini saya sudah mendatangi banyak museum, mulai dari Museum Toyota, museum vinegar, museum kertas jepang (washi), museum kain jumputan, museum sutera, museum sains, museum keramik, dan satu lagi yang ingin saya datangi museum robot di Nagoya.
 
Banyak sekali museum di Jepang, tersebar di seluruh provinsi, bahkan ada yang secara mandiri membuat dan mengabadikan sejarah nenek moyangnya dalam bentuk museum yang sederhana.  Ada situs yang mendata tentang museum-museum di Jepang, informasinya cukup lengkap.  Silahkan klik di  sini.  Museum di Jepang sangat beragam, sampai ada museum matematika di Ibaraki prefecture.  Kampus kami pun punya museum yang menyimpan benda dan dokumen bersejarah tentang Nagoya University.

Museum termasuk dalam fasilitas yang wajib ada sebagai pusat belajar masyarakat.  MEXT (Kementerian Pendidikan Jepang) mengkategorikan museum sebagai fasilitas belajar pendidikan sosial. Survey MEXT di tahun 2002 menunjukkan ada 1120 museum dan 4243 fasilitas setipe museum.  Dari keseluruhannya museum yang paling banyak adalah museum sejarah dan museum seni.  Museum sains juga termasuk terbanyak ketiga.

Saya tidak punya data tentang berapa banyak orang Jepang yang datang ke museum setiap tahunnya, tetapi berdasarkan pengamatan sehari-hari, orang Jepang termasuk getol mengunjungi museum.  Bahkan anak-anak sekolah menghabiskan akhir pekannya dengan mendatangi museum-museum.

Membangun sebuah museum memang memerlukan biaya, apalagi jika museumnya berupa gedung yang megah.  Tapi museum yang ada di Jepang terkadang hanya bangunan sederhana yang diusahakan secara privat oleh warga yang mempunyai kaitan dengan sejarah desa misalnya, atau nenek moyangnya secara turun temurun membuat kimono, maka jadilah museum kimono.  Museum tidak hanya dikelola oleh pemerintah tapi juga dikembangkan oleh warga.  Yang menarik banyak perusahaan ternama yang juga membuat museum.  Misalnya museum Toyota yang memaparkan mobil pertama hingga mobil mutakhir produksi Toyota.  Museum uang milik bank Mitsubishi UFJ juga menjadi tempat belajar yang sangat bermanfaat, atau musim listrik milik chubu denki, semacam PLN di wilyah chubu.  Produsen cuka terbesar di Jepang, Mitsukan punya museum di daerah Aichi.  Dua kali saya mengunjungi tempat ini.

Ada suatu penelitian yang mengatakan karakter masyarakat kelas atas atau masyarakat terdidik adalah rajin ke museum, menggemari musik klasik dan rajin datang ke konser. Mungkin ada benarnya sebab hanya orang beruang yang bisa mengakses itu semua. Tapi di Jepang, karena ongkosnya terjangkau, maka masyarakat kelas bawah seperti saya pun kadang-kadang dapat tiket konser gratis atau murah (^_^).

Yang pasti, saya yang hampir tidak pernah mengunjungi museum di Indonesia (karena memang ga ada di daerah saya (>_<)), sangat menikmati berjalan-jalan mengunjungi museum di Jepang.  Saya gemar pergi sendiri, karena bebas mau nongkrong berjam-jam memandangi hasil karya atau kebiasaan saya memotret yang berjam-jam sepertinya tidak akan membuat teman jalan bertahan.  Seperti ketika mengunjungi museum sutra di Nagano bersama teman-teman peserta training guru.  Belum sampai satu jam teman-teman sudah naik ke bis, sedangkan saya masih berkeliling memotret semua mesin dan produk sutra, pun duduk menonton penjelasan tentang silk road, atau bermain-main dengan pupa yang sedang menari.  Saya banyak belajar dari jalan-jalan yang saya lewati berikut tempat-tempat yang saya singgahi dan orang-orang yang dengan semangat berbagi cerita tentang sejarahnya. 

Sumber: www.murniramli.wordpress.com

Selasa, 28 September 2010

Museum Apartheid di Afrika Selatan


Museum menampilkan memori kolektif umat manusia, baik pencapaian ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang membanggakan maupun sisi lain kebudayaan yang membuat getir siapapun. Museum Apartheid menampilkan sisi getir sejarah umat manusia. Tulisan di bawah dipinjam dari  kantor berita Antara. Selamat merenung!


Museum Apartheid, Jejak Kegelapan Masa Lalu Afsel
Jumat, 9 Juli 2010
Atman Ahdiat
Foto: www.tripadvisor.com
Foto: etours.co.za

Johannesburg (ANTARA News) - "Kulit berwarna dianggap lebih baik dari penduduk asli (kulit hitam) yang hampir berada di tingkat paling dasar kehidupan manusia. Mereka menjadi objek eksploitasi dan hidup dalam kemiskinan dan penuh penderitaan."

Demikian salah satu dari sekian banyak tulisan yang menghiasi dinding di dalam ruangan Museum Apartheid di Johannesburg.

Di sudut lainnya, juga terdapat cerita bagaimana Willie Vickerman, seorang anak yang harus menerima kenyataan dikategorikan sebagai masyakarat kelas berwarna (coloured) hanya karena ia berayah seorang kulit putih dan ibu kulit hitam.

Ketika bekerja di perusahaan kereta api, ia pun menerima posisi dan jabatan sebagai seorang kulit berwarna, memiliki tanah khusus untuk kulit berwarna, dan pajak pun dikategorikan berdasarkan warna kulit.

Masih banyak cerita-cerita yang menggambarkan ketidak adilan sistem pemerintahan apartheid yang membagi umat manusia ke dalam tiga kelompok, yaitu kulit putih (white), berwarna (coloured) dan hitam (black).

COPYRIGHT © 2010
Ikuti berita terkini di handphone anda http://m.antaranews.com

Senin, 27 September 2010

Bolehkah Memotret di Museum?


Beberapa waktu yang lalu saya terlibat diskusi dengan beberapa orang kawan tentang boleh tidaknya memotret di museum. Seorang kawan senior yang sudah malang-melintang ke museum-museum dunia memaparkan keprihatinannya tentang foto-foto koleksi beberapa museum di Indonesia yang menjadi materi komersial di luar negeri tanpa melalui prosedur resmi. Menurutnya ini merupakan pelanggaran hak intelektual terhadap kekayaan budaya negeri ini. Kita sering kecolongan seperti itu, katanya. Saya sependapat. Betapa banyaknya pembenahan yang harus dilakukan di negeri kaya yang dimiskinkan ini!

Menurut kawan senior tersebut pemotretan di museum seharusnya diatur untuk menghindari hal-hal tersebut di atas. Pengunjung tidak boleh memotret sesuka hati, atau bila ingin memotret ada biaya tertentu di luar tiket masuk museum. Masalahnya, museum-museum di Indonesia umumnya gratis atau nyaris gratis (tiket masuknya sangat sangat murah). Jadi rasanya aneh, masuk gratis tapi memotret harus membayar. Rupanya kedua hal ini harus berjalan seiring. Museum tempat saya bekerja pun tidak memberlakukan biaya masuk, dan pengunjung boleh memotret sesuka hati mereka (tidak ada batasan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dipotret). 
Sumber gambar: www.cahgk.files.wordpress.com

Sebetulnya bagaimana aturan mainnya? Apakah memotret di museum itu memang dilarang? Atau, boleh memotret tapi dengan syarat tertentu? Siapa yang berhak mengeluarkan izin memotret? Jika memotret dilarang, apakah kamera yang dibawa pengunjung harus dititipkan? Di mana tempat penitipannya, bagaimana keamanannya? Jika memotret diperbolehkan tapi dengan syarat tertentu, bagaimana pengawasannya? Apakah pihak museum sanggup memastikan bahwa pengunjung tidak melanggar persyaratan yang diberikan?  Di negara kita hal-hal seperti ini tampaknya belum mendapat perhatian serius. Mau tidak mau saya harus mencari rujukan ke museum di negara maju untuk mencari aturan main ini. Salah satunya adalah di sini.

Ternyata di negara maju pun hal ini masih menjadi bahan perdebatan. Sebuah diskusi khusus diselenggarakan untuk membahas masalah ini. Ada yang pro, dan tentu saja ada yang kontra. Masing-masing memiliki logikanya sendiri.

Sepertinya museum-museum di Indonesia perlu juga menyelenggarakan diskusi semacam ini. Kita jaring pendapat masyarakat, dan kita olah sehingga menghasilkan peraturan yang sifatnya win-win solution. Bagaimana museum-museum Indonesia? (Julimar, 27/09/2010).

Minggu, 26 September 2010

Museum Mandala Wangsit Siliwangi vs Museum AK-47 Kalashnikov


Masa liburan lalu saya mengajak anak mengunjungi Museum Mandala Wangsit Siliwangi. Sebetulnya banyak informasi berharga dan menarik di museum ini, namun suasananya suram dan seram. Anak saya ketakutan berlama-lama di museum ini. Sayang sekali saya tidak membawa kamera. Foto-foto di Museum Mandala Wangsit SIliwangi ini dipinjam dari www.visitbandung.multiply.com di bagian tentang museum ini. Dulu ketika masih sekolah saya pernah dibawa ke museum ini oleh orangtua. Seingat saya kala itu museum ini tidak sesuram sekarang. Tapi, yah....sudahlah. Yang ingiin saya sampaikan sekarang adalah perbandingan koleksi yang ada di museum ini dengan Museum AK-47 Kalashnikov di Rusia. Dua-duanya menyimpan koleksi senjata, namun dari jenis dan masa yang berbeda. Apa yang ada di pikiran Anda ketika melihatnya? Silakan menikmati.



Sumber foto: www.visitbandung.multiply.com
Yang di bawah ini adalah koleksi senjata Museum AK-47 Kalashnikov





Sumber: www.englishrussia.com

Mana yang lebih suram? Menurut saya Museum Mandala Wangsit Siliwangi lebih suram (jelas banget!) tapi Museum AK-47  Kalashnikov lebih "seram" mengingat berapa banyak nyawa sudah hilang lewat senjata-senjata favorit para teroris ini!

Sabtu, 25 September 2010

Seni bertanya kepada pengunjung

Sebagai insan museum, saya sebenarnya selalu tertarik dengan apa yang dipikirkan orang tentang museum, khususnya museum tempat saya bekerja. Saya tertarik untuk mengetahui tanggapan pengunjung terhadap pelayanan museum di semua segi, baik saran maupun kritik. Apapun bentuknya, semua harus diberi tanggapan-balik yang seimbang. Kita tidak boleh terpancing oleh kritik pedas dan tidak boleh terbuai oleh pujian yang melambung setinggi awan.

Untuk mengetahui apa dan bagaimana tanggapan pengunjung terhadap sebuah museum, hal pertama yang dilakukan oleh pengelola museum tentunya adalah mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang bukan sembarang pertanyaan. Saya sendiri merasakan sangat tidak mudah merumuskan pertanyaan untuk diajukan kepada pengunjung. Hal pertama yang terpikirkan adalah bagaimana kesan anda tentang museum kami? Sepertinya ini pertanyaan yang mudah dan orang akan dengan mudah pula memberikan jawaban. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Jawaban yang keluar biasanya adalah cukup bagus/baik, pokoknya asyik deh, ya gitu deh....siip lah! Jawaban seperti itu bukannya membuat saya senang, malah sebaliknya. Saya tidak yakin mereka memberikan jawaban jujur. Kesan saya, mereka ingin segera terbebas dari saya, mereka ogah-ogahan menjawab pertanyaan saya. Dua pertanyaan muncul di benak saya: apakah saya yang salah merumuskan pertanyaan, atau mereka yang tidak mampu mengungkapkan pikirannya? Keduanya mungkin benar. Merumuskan pertanyaan yang bermutu merupakan hal penting jika sebuah museum menginginkan keterlibatan pengunjung dalam menilai pelayanan museum.

Tidak mudah memang. Dari pengalaman tersebut akhirnya saya berkesimpulan sayalah yang tidak mampu merumuskan pertanyaan. Tidak mudah merumuskan pertanyaan dan lebih sulit lagi mendapatkan jawaban yang sesuai dengan maksud pertanyaan saya. Kesulitan dalam merumuskan pertanyaan adalah menentukan apakah pertanyaan yang saya ajukan akan dipahami atau tidak oleh pengunjung. Nampaknya selama ini pertanyaan yang saya ajukan kurang mampu menarik perhatian pengunjung sehingga dengan sendirinya tidak mampu pula membuat pengunjung merasa harus menjawab (dengan antusias). Pada waktu bertanya saya sebenarnya menginginkan jawaban yang jujur, bukan jawaban yang benar. Yang harus dipelajari adalah bagaimana bertanya dengan baik dan benar.

Lalu bagaimana sebenarnya seni bertanya kepada pengunjung itu?  Pertanyaan yang bagaimana yang dapat menggali pendapat pengunjung?

Menurut Nina Simon dalam Design Techniques for Developing Questiions for Visitor Participation, pertanyaan yang benar adalah pertanyaan yang:
  • Memancing tanggapan langsung. Contohnya: apa yang sedang Anda amati?
  • Membuat pengunjung berusaha keras menjawab. Contohnya: di antara fosil yang ada di ruangan ini, mana yang menurut Anda adalah fosil hewan karnivora?
  • Memotivasi ekspresi otentik. Contohnya: apa yang membuat Anda datang ke museum ini?
  • Berasal dari pengalaman pribadi, bukan sebuah kesimpulan. Contohnya: dari sekian objek/koleksi, mana yang akan Anda rekomendasikan kepada teman?
  • Terbuka untuk semua orang
  • Bersifat spekulatif (bukan apa ini? melainkan bagaimana jika?)
  • Menghasilkan jawaban yang menarik untuk ditanggapi kembali.

Pertanyaan yang salah/buruk menurut Nina Simon adalah yang:
  • Menggurui (apa yang sedang dilakukan oleh orang dalam lukisan ini?)
  • Terlalu abstrak (apa arti geologi untuk Anda?)
  • Terlalu impersonal/ketus/kurang hangat (menurut Anda fosil itu apa?)
  • Terlalu superlatif sehingga orang bingung (mana yang menurut Anda paling bagus/baik?)
  • Terlalu umum (apa kesan Anda tentang museum ini?)

Pertanyaan yang “benar” bisa dalam bentuk kalimat pendek, atau panjang. Bisa sederhana, bisa juga agak rumit. Mulai yang hanya membutuhkan jawaban YA/TIDAK hingga yang membutuhkan jawaban panjang lebar. Kuncinya adalah pertanyaan tersebut harus benar-benar menarik dan memicu proses belajar kepada penjawab maupun orang di sekitarnya yang mendengarkan tanya jawab tersebut. Intinya, kita harus menaruh perhatian pada setiap jawaban yang mereka berikan, apapun jawabannya.

Nina Simon memberikan tip tentang bagaimana caranya membuat pertanyaan yang benar di atas, yaitu:

  • Buat “pertanyaan menarik” yang menghubungkan isi pertanyaan kita. Pastikan bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang bisa dijawab oleh semua orang dan kita sangat ingin mendengar jawabannya. Ajukan pertanyaan tersebut kepada beberapa orang. Tanya diri sendiri. Dengarkan atau baca jawaban mereka. Jika kita sendiri merasa jengah mengajukan pertanyaan tersebut kepada orang kesepuluh, maka itu berarti kita mengajukan pertanyaan yang salah. Kita harus membuat pertanyaan baru.
  • Ajukan pertanyaan tersebut kepada sekelompok orang dan mintalah mereka untuk segera mengacungkan tangan jika tahu jawabannya. Tanya apakah mereka mau membaca jawaban orang lain.
  • Kumpulkan semua jawaban yang ada dan periksa baik-baik. Jawaban-jawaban ini adalah “peragaan” kita. Tentukan mana yang menarik, dan tentukan sebarapa banyak yang membuat kita termotivasi untuk mengajukan pertanyaan berikutnya.
  • Ajukan pertanyaan tersebut dengan cara berbeda-beda kepada kelompok yang berbeda pula. Usahakan untuk melakukan penekanan yang berbeda-beda dengan pilihan kata yang berbeda-beda. Bandingkan hasilnya. Tanyakan kepada mereka seberapa sulit menjawab pertanyaan yang berbeda-beda dan apakah ada pertanyaan yang harus dilewat.

Penelitian pengunjung biasanya diawali dengan pertanyaan-pertanyaan “sederhana” seperti di atas. Bagaimana dengan Anda, para insan museum? Apakah siap membuat pertanyaan dan melakukan penelitian pengunjung?  Saya sendiri menyimpan mimpi kuat untuk suatu saat nanti ada cukup biaya guna melakukan penelitian pengunjung secara serius. Semoga! (Julimar 24/09/2010).

Jumat, 24 September 2010

Diffrerent institutions, different issues

Berbagai museum memiliki cara tersendiri untuk melakukan pendekatan kepada pengunjung agar pengunjung mau berperan serta dalam kegiatannya.  Tentunya tantangan yang dihadapi pun berbeda-beda. Beberapa contoh berikut bisa dijadikan rujukan bagi museum-museum di Tanah Air jika memang ingin merangkul pengunjungnya. Secara ringkas sebagai berikut:

History museum : share your story but make sure it’s time
Art museum : be creative but your art will live in the learning gallery
Science center : let’s discuss togh issues, but don’t bring God into it
Children’s museum : you can participate, but we need mummy’s permission.
Untuk butir ketiga perlu dipertimbangkan matang-matang karena bagaimanapun kita tidak bisa mengabaikan keberadaan Tuhan. Kemajuan Barat di bidang ilmu pengetahuan perlu kita tiru, tetapi tidak demikian halnya dengan pandangan sekuler mereka. Selamat menikmati!

Rabu, 22 September 2010

Selasa, 21 September 2010

Pendidikan di Museum


Kita sering mendengar museum disebut-sebut sebagai lembaga pendidikan informal yang dapat mendukung dan mendampingi lembaga pendidikan formal. ICOM (International Council on Museums) dalam definisinya tentang museum memasukkan pendidikan dalam salah satu fungsi museum.

Sekitar lima tahun yang lalu seorang pejabat tinggi di lingkungan tempat saya bekerja tegas-tegas menolak kata “pendidikan” diterapkan dalam konteks museum karena menurutnya pendidikan adalah ranah Departemen Pendidikan Nasional, BUKAN ranah museum! Benarkah demikian? Alangkah menyedihkannya jika semua pejabat tinggi berpikiran seperti itu. Pertanyaan mendasar kemudian muncul: sebetulnya pendidikan itu apa? Lalu, bagaimana sebenarnya bentuk pendidikan yang ditawarkan dan diberikan oleh museum kepada masyarakat?

Definisi
Secara definisi Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pendidikan adalah “proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.” Jadi, berubahnya sikap dan perilaku tersebut dilakukan secara sadar (sengaja), karena kata yang digunakan adalah “pengubahan”, bukan “perubahan”.

Sekolah (termasuk perguruan tinggi) adalah lembaga formal yang menyelenggarakan pendidikan secara klasikal (di dalam kelas) dan terstruktur (ada silabus, atau kurikulum yang harus diikuti). Lembaga kursus menurut saya pada dasarnya adalah lembaga pendidikan formal juga karena diselenggarakan dengan menerapkan kedua pola di atas. Lawan dari pendidikan formal adalah pendidikan informal, yang tidak klasikal dan tidak terstruktur namun dapat memberikan dampak yang – bisa saja – lebih besar dibandingkan dengan pendidikan formal. Pendidikan informal terbentang luas di lingkungan kita. Alam terkembang menjadi guru, kata pepatah Minang. Atas dasar filosofi ini, siapapun bisa memberi pendidikan kepada kita melalui teladan dan pengalaman. Pendidikan pada dasarnya adalah tanggung jawab seluruh anggota masyarakat. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita masih memandang pendidikan secara sempit sebagai pengajaran. Tidak mengherankan jika keluar ucapan seperti disebutkan di muka dari seorang pejabat tinggi di instansi pemerintah. Sesungguhnya pengajaran adalah bagian dari pendidikan dan tujuan pendidikan adalah mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, atau karakter seseorang (Julianty, 2005).

Pendidikan di museum
Seperti telah disebutkan di atas, pendidikan di museum bersifat informal. Ciri khas pendidikan di museum adalah diselenggarakan melalui sistem peragaan. Sistem peragaan meliputi benda peraga (objek atau koleksi museum), alur bercerita, pelabelan, tata cahaya, serta konteks antarobjek/antarkoleksi. Dengan kata lain, peragaan menyampaikan cerita melalui objek, dan museum memberikan “... tangible encounters with real objects.” (Rebbert, 2007). Orang datang ke museum karena ingin melihat apa yang diperagakan. Dari hubungan dengan objek inilah pengunjung mendapat pembelajaran. Apa yang Anda pikirkan ketika melihat fosil stegodon di Museum Geologi, atau ketika membaca teks pidato Bung Karno di Museum Konperensi Asia Afrika, atau ketika melihat replika prasasti Ciaruteun di Museum Sri Baduga? Apa yang ada di benak Anda ketika menyaksikan film tentang ekskavasi paleontologis gajah Blora di Museum Geologi, atau ketika menyaksikan film Bung Karno berpidato pada pembukaan Konperensi Asia Afrika yang ditayangkan di Museum Konperensi Asia Afrika? Beragam kesan dan tanggapan akan muncul dari setiap orang sesuai dengan daya persepsinya masing-masing. Tentang fosil stegodon, Anda mungkin akan berpikir betapa besarnya hewan itu, atau “oh, ternyata di Indonesia pernah hidup hewan sebesar itu”, atau “mengapa hewan itu sekarang tidak ada lagi, ke mana mereka?’ Dan mungkin masih banyak lagi. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan menggiring orang untuk mencari jawaban dengan caranya masing-masing. Di sinilah proses pendidikan berlangsung. Di sini pintu berpikir terbuka sedikit demi sedikit, dan orang secara tidak sadar masuk ke dalam bidang ilmu yang sebelumnya mungkin tidak dikenalnya. Atau, bagi yang sudah mengenalnya, akan memandang ilmu tersebut dari sudut pandang yang berbeda dan memberi inspirasi kepadanya untuk mempelajarinya lebih lanjut (Rebbert, 2007).

Jumat, 17 September 2010

Pemanduan di Museum


Seorang sahabat bertanya tentang strategi memandu di museum. Adakah referensi khusus untuk topik ini? Sejujurnya, saya belum menemukan referensi khusus yang membahas masalah ini, terutama untuk jenis pemanduan konvensional (secara oral). Untuk pemanduan dengan teknologi elektronik (baik secara audio, visual, maupun tekstual) cukup banyak yang dapat dijadikan referensi. Beberapa di antaranya adalah Using Cinematic Technique in a Multimedia Museum Guide (Zancanaro dkk), An Electronic Museum Guide in Real Use (Bartneck, 2007), Enhancing  Mobile Museum Guide with Public Displays (Ghiani dkk), Location-aware tour guide systems in museums (Chih-Yung Tsai dkk, 2010). Maaf jika yang saya sampaikan adalah referensi berbahasa asing. Setengah mati saya mencari referensi serupa dalam bahasa Indonesia , yang berisi penelitian sejenis untuk museum-museum di Tanah Air, hasilnya nihil. Mungkin pula ilmu saya yang masih sangat sedikit ini yang membuat keterbatasan dalam mencari.

Untuk kasus di museum-museum Tanah Air tampaknya kita semua, khususnya saya pribadi, patut merasa prihatin dengan miskinnya informasi dan referensi tentang pekerjaan permuseuman. Dunia permuseuman di Tanah Air masih menjadi “dunia lain” yang gelap gulita bagi sebagian besar masyarakat kita. Tidak heran penelitian-penelitian tentang museum pun sangat minim, dan ini merupakan cermin kurangnya perhatian masyarakat (termasuk peneliti?) akan museum. Kondisi ini diperburuk oleh sikap museum sendiri yang cenderung arogan dengan beranggapan masyarakat tidak tahu museum, padahal museum pun sering kali tidak peka terhadap kebutuhan masyarakat. Banyak museum memberi kesan tidak serius dalam menata peragaannya hanya karena beranggapan, “Biarlah, toh masyarakat tidak akan ambil pusing.” Belum lagi jika dikaitkan dengan masalah dana. Sikap ini tentu saja tidak menghargai masyarakat, baik sebagai kelompok besar maupun sebagai kelompok kecil pengunjung museum. Masyarakat dianggap bodoh dan tidak tahu apa-apa.

Sekarang, ketika arus informasi sedemikian deras dan perkembangan teknologi sedemikian cepat, museum tidak bisa lagi bersikap arogan seperti itu. Saat ini masyarakat dengan mudah dan cepat menggerakkan jari untuk mencari berbagai informasi di dunia maya, termasuk tentang museum. Mereka mencari informasi tentang museum-museum di negara-negara maju dan membandingkannya dengan museum-museum di Tanah Air. Di titik ini mulai muncul tuntutan, bahkan kritik, dari kelompok kecil ataupun individu terpelajar yang melek internet kepada museum di Tanah Air agar memperbaiki kinerjanya dalam semua segi.

Kembali ke masalah pemanduan. Bercermin pada pengalaman sendiri  dan pengalaman teman-teman sesama pemandu, kemudian menggabungkannya dengan referensi berupa hasil penelitian di museum negara-negara maju, akhirnya saya mendapatkan “ramuan” untuk strategi memandu di museum. Sedikitnya ada lima hal yang perlu diperhatikan ketika memandu di museum, yaitu:
  •     Pengelolaan waktu (time management)
  •     Penekanan pada objek tertentu (highlighting)
  •     Pengaturan arus pengunjung (visitor’s flow)
  •    Pembatasan jumlah pengunjung yang dipandu (minimum   number of visitors)
  •    Kesempatan untuk tanya-jawab (communication).
Pengelolaan waktu merupakan hal yang penting pada waktu memandu. Pemandu dituntut untuk menjelaskan seluruh materi di ruang yang dipandunya dalam waktu relatif singkat. Pemandu juga harus mengetahui berapa banyak waktu yang dimiliki oleh pengunjung. Dengan demikian dia dapat menyampaikan informasi secara optimal. Pengelolaan waktu dengan sendirinya berkaitan dengan highlighting, yaitu penekanan informasi tentang objek tertentu yang dianggap menarik, penting, atau menjadi masterpiece koleksi. Pemandu tidak perlu menjelaskan semua objek, cukup yang penting-penting saja sehingga tidak banyak waktu tersita. Namun highlighting dapat memancing pengunjung untuk bertanya atau bahkan datang kembali ke museum di lain kesempatan. Itu pula sebabnya fokus penekanan harus berganti secara rutin agar pengunjung penasaran untuk mendapatkan informasi lebih jauh. Pergantian bisa per hari atau per minggu (ada penjadwalan). Segi positif sistem ini bagi pemandu adalah mereka pada akhirnya akan menguasai seluruh objek yang ada di ruang peragaan.

Pengelolaan waktu dan highlighting dapat terlaksana dengan baik jika arus pengunjung diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi tabrakan atau menumpuk di satu tempat pada saat bersamaan. Untuk mengatur arus, idealnya pengunjung dibagi menjadi kelompok kecil maksimal 25 orang agar pemanduan berjalan optimal. Suara pemandu masih dapat didengar dengan baik pada lingkup tersebut sehingga pemandu tidak perlu bicara terlalu keras ataupun memakai pengeras suara. Lagi pula pengelompokan seperti ini akan memperkecil kemungkinan bagi pengunjung yang berniat usil merusak/mencoret-coret benda peraga karena pemandu dapat memantau kelompok kecil tersebut. Pengaturan arus pengunjung dengan memasang tali pembatas tampaknya akan cukup membantu dan mempermudah pemanduan. Selain itu perlu juga ada penjadwalan pengunjung rombongan dan individu (buat kategori pengunjung berdasarkan jumlah, atau berdasarkan hari berkunjung).  Pihak museum mempunyai wewenang penuh untuk mengatur semua ini demi ketertiban dan kelancaran aktivitas edukasi di museum. 

Pemandu pada dasarnya adalah juga edukator, jadi mereka harus dilatih untuk mampu memberikan edukasi kepada masyarakat sesuai dengan porsinya. Berkaitan dengan hal ini, dalam proses pemanduan pemandu harus dapat membangkitkan rasa ingin tahu pengunjung, memancing pengunjung untuk mau bertanya,  dan tentunya memberi kesempatan untuk tanya-jawab.
*****
Perlu keinginan kuat dan niat baik dari pengelola museum untuk mewujudkan hal-hal di atas. Integrasi, koordinasi dan komunikasi yang baik harus dibangun di antara sesama pegawai di lingkungan museum, tak terkecuali para pemandu. Tahap awal yang harus dilakukan pengelola museum adalah melakukan simulasi dan evaluasi untuk memastikan efektif tidaknya strategi pemanduan seperti disebutkan di atas. Pada mulanya mungkin ada sedikit “kekacauan” atau bersitegang dengan pengunjung. Tetapi jika museum ingin pesannya sampai kepada sekaligus dipahami oleh masyarakat, maka museum harus berani melakukan terobosan ini. Setidaknya dicoba dulu.

Museum Geologi di blog lain

Silakan mampir di sini ya.... atau di sini.

Paleontologi

Dalam tulisan mengenai fosil telah disinggung tentang paleontologi. Tulisan ini adalah penjelasa singkat tentang apa yang dimaksud dengan paleontologi. Secara singkat paleontologi adalah ilmu yang mempelajari ekologi purba, evolusi dan keberadaan kita sebagai manusia di muka bumi, melalui fosil. Paleontologi menggabungkan berbagai pengetahuan dari bidang ilmu lain, seperti biologi, geologi, ekologi, antropologi, arkeologi, bahkan ilmu komputer untuk memahami proses-proses yang mengakibatkan asal-muasal dan hancurnya berbagai organisme sejak munculnya kehidupan. Ilmu ini memiliki beberapa cabang sebagai berikut.
  • Micropaleontology (paleontologi mikro): kajian yang secara umum mempelajari fosil mikroskopik (fosil berukuran sangat kecil yang hanya dapat dilihat melalui mikroskop).
  • Paleobotani: mempelajari fosil tumbuhan, termasu mempelajari fosil ganggang dan fosil jamur di samping fosil tumbuhan darat.
  • Palinologi: mempelajari serbuk sari dan spora, baik yang masih hidup maupun yang sudah memfosil, yang dihasilkan oleh tumbuhan darat dan protista.
  • Paleontologi invertebrata: mempelajari fosil binatang invertebrata seperti moluska, echinodermata, dan lain-lain.
  • Paleontologi vertebrata: mempelajari fosil binatang vertebrata, mulai ikan primitif hingga mamalia.
  • Paleontologi manusia (Paleoantropologi): mempelajari fosil manusia prasejarah dan fosil proto-manusia.
  • Taphonomy: mempelajari proses pembusukan, terawetkannya dan terbentuknya fosil secara umum.
  • Ichnology: mempelajari fosll jejak.
  • Paleoekologi: mempelajari iklim dan ekologi purba, yang tercermin dalam fosil maupun yang lainnya.
Di Indonesia belum ada museum khusus yang menampung koleksi paleontologis, padahal negara kita sangat kaya akan tinggalan paleontologis yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Di negara-negara maju biasanya lazim dijumpai museum-museum seperti ini di universitas terkemuka. Universitas California di Amerika Serikat adalah salah satunya. (Julimar 17/09/2010)

Baja dan Pelestarian Lingkungan

Baja adalah logam yang terdiri dari campuran besi (Fe) dan karbon (C). Baja biasa digunakan untuk membuat sesuatu yang membutuhkan struktur kuat, seperti kendaraan dan bangunan (Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2007). Jadi baja bukanlah logam murni dan unsur besi lebih dominan dalam senyawa besi-karbon ini. Karbon pada baja berfungsi untuk meningkatkan kualitas baja, baik daya tariknya (tensile strength ) maupun tingkat kekerasannya. Untuk mendapatkan baja dengan kualitas tertentu seperti antikarat, tahan panas dan sebagainya, maka biasanya ditambahkan unsur lain seperti chrom (Cr), nikel (Ni), vanadium (V), atau molybdenum (Mo).
 
Baja sudah digunakan secara luas dalam beberapa peradaban kuno seperti Mesir dan Mesopotamia. Bukti arkeologis tertua tentang penggunaan baja berasal dari tahun 1400 SM. Kala itu baja banyak digunakan untuk membuat perkakas sehari-hari, termasuk senjata dan perkakas rumah tangga. Teknik pembuatan, pengolahan dan penempaan baja terus berkembang hingga saat ini, namun ada teknik kuno pembuatan senjata yang hingga sekarang masih dipakai yaitu teknik damaskus (damascene technique). Teknik modern pembuatan baja dimulai pada abad ke-19. Adalah Sir Henry Bessemer yang menemukan teknik pembuatan baja secara massal namun ekonomis.   

Menara Eiffel (www.eiffel-tower.us)
 
Baja sebagai bahan konstruksi bangunan mulai dikenal di Eropa sekitar tahun 1860-an. Ketika itu terjadi gerakan arsitektur modern yang secara tidak langsung dipicu oleh penemuan Sir Henry Bessemer tersebut. Menara Eiffel di Paris (Perancis) yang selesai dibangun pada tahun 1899 menjadi tonggak dunia konstruksi yang memanfaatkan material baja. Setelah itu di Amerika Serikat berturut-turut dibangun gedung pencakar langit yang menggunakan konstruksi baja, yaitu Flatiron Building (1902), Chrysler Building (1930), dan Empire State Building (1931). 

Kamis, 16 September 2010

Bagaimana Menghitung Umur Fosil?

Umur fosil dapat ditentukan dengan cara relatif (umur fosil ditentukan berdasarkan hubungannya dengan fosil atau satuan batuan lain) maupun mutlak (perkiraan umur dalam hitungan tahun). Salah satu prinsip pertanggalan relatif adalah superposisi (superposition), yaitu lapisan batuan (berikut fosil yang ada di dalamnya) yang di bawah lebih tua daripada lapisan di atasnya (dalam posisi normal). Ini merupakan hal yang wajar karena lapisan endapan yang di bawah lebih dulu terbentuk dibandingkan yang di atasnya. Konsep yang berkaitan dengan pertanggalan relatif adalah korelasi, yaitu lapisan batuan dibandingkan dengan lapisan batuan di tempat lain atas dasar komposisi mineralnya, kandungan fosilnya, dan ciri-ciri lainnya. Jika satu unit atau rangkaian batuan sangat mirip dengan unit batuan di tempat lain, maka dikatakan keduanya berkorelasi dan dianggap berumur sama. Korelasi terutama dapat diandalkan jika di dalamnya terdapat fosil indeks, yaitu fosil yang memiliki rentang umur terbatas. Fosil indeks yang baik dapat dikenali dengan mudah dan tersebar luas di dunia, sehingga fosil-fosil tersebut dapat membantu korelasi lokal maupun internasional.
 
Pertanggalan mutlak melengkapi pertanggalan relatif dengan memberikan umur kronologis spesifik (tidak terlalu tepat) untuk spesimen tertentu, seperti “50 juta tahun sebelum sekarang.” Beberapa tahun terakhir ini bentuk pertanggalan mutlak yang dapat diandalkan semakin banyak karena adanya perkembangan di bidang metode pertanggalan radiometrik. Metode-metode ini didasarkan pada peluruhan unsur radioaktif tertentu menjadi isotop lain atau “produk turunan”. Dengan mengukur jumlah produk “induk” dan “turunannya” dalam sampel batuan, maka perkiraan umur batuan tersebut dapat dihitung.
 

Metode Carbon 14 (C-14) sudah banyak diketahui orang dan mereka berasumsi bahwa umur fosil dapat dihitung dengan metode ini. Sebenarnya, dalam sebagian besar kasus metode C-14 hanya berguna untuk materi organik yang umurnya kurang dari 50.000 tahun, termasuk sisa-sisa manusia dan artefak, tapi tidak termasuk fosil. Pertanggalan mutlak terhadap fosil membutuhkan metode pertanggalan lain seperti metode potassium-argon atau rubidium-strontium, yang menggunakan isotop dengan tingkat peluruhan rendah (paruh-waktunya lebih lama). Isotop jenis ini jarang terdapat pada fosil, tetapi dapat ditemukan pada lapisan batuan di sekitarnya atau yang berdekatan, sehingga menghasilkan perkiraan umur untuk unit batuan yang mengandung fosil tersebut. Dengan menggunakan prinsip-prinsip yang disebutkan di atas, para ahli juga dapat mengurangi perkiraan umur lapisan batuan lain yang berkorelasi dengan formasi yang sama, demikian juga dengan perkiraan umur untuk lapisan di atas dan di bawah formasi batuan tersebut (yang bisa saja lebih tua atau lebih muda).
 
Istilah “di atas” dan “di bawah” dalam konteks ini digunakan dalam pengertian relatif atau stratigrafis; artinya, istilah itu didasarkan pada posisi unit-unit batuan secara relatif terhadap satu sama lain (atau unit-unit yang bekorelasi), bukan dalam arti ketinggian di atas permukaan laut. Cabang geologi yang mempelajari korelasi lapisan batuan disebut stratigrafi (atau biostratigrafi jika fokusnya adalah fosil dalam lapisan batuan), dan cabang ilmu ini merupakan alat yang penting bagi ahli paleontologi.

 
Diterjemahkan dari How Fossils are Dated (www.paleo.cc/kpaleo/fossdate.htm).

Siapakah para Muse?

Para Muse (www.museguild.org)
Dalam tulisan tentang sejarah museum telah disinggung tentang para Muse. Siapa mereka?

Para Muse dalam mitologi Yunani Kuno memiliki salah satu fungsi paling penting, yaitu memberi inspirasi pada puisi serta mendorong kesenian dan ilmu pengetahuan. Orang yang dianggap beruntung karena diberi inspirasi oleh para Muse sangat dihormati dan dianggap suci, lebih suci daripada para pendeta. Para Muse sering digambarkan sebagai ratu nyanyian, dan jamuan makan di Gunung Olympus (tempat tinggal para dewa dalam kepercayaan Yunani Kuno – penerj.) tidak lengkap tanpa kehadiran mereka. Setiap Muse memiliki spesialisasi sendiri. Mereka adalah:

  • Calliope - Muse untuk kefasihan berbahasa dan puisi kepahlawanan, dia juga pemimpin para Muse.
  • Clio - Muse untuk puisi sejarah dan kepahlawanan
  • Erato - Muse untuk puisi liris, terutana tentang cinta
  • Euterpe - Muse untuk puisi liris dan musik, terutama seruling
  • Melopomene - Muse untuk tragedi
  • Polyhymnia - Muse untuk himne suci dan keindahan, kefasihan berbahasa dan tari
  • Terpsichore - Muse untuk tari, paduan suara drama, dan puisi liris.
  • Thalia - Muse untuk komedi
  • Urania - Muse untuk astronomi, astrologi dan cinta universal

Muse biasanya digambarkan sebagai gadis-gadis cantik, berhiaskan rangkaian daun palem, daun laurel, bunga mawar, atau bulu Siren (mahluk mitis berbentuk burung dan wanita – penerj.). Para muse digambarkan menari membentuk lingkaran bersama dengan Dewa Apollo, sang Dewa Kesenian.

Sebagai pelindung seni dan ilmu pengetahuan, para Muse mendorong aspek keberadaan umat manusia yang lebih beradab. Itu sebabnya para Muse sering diminta pertolongan untuk ekspresi artistik selama ribuan tahun dan sekarang tetap menjadi rujukan bagi para seniman, pujangga, penulis dan musisi di dunia Barat.
·   

Di mana fosil didapat?



Kebanyakan fosil ditemukan secara tidak sengaja. Ada yang ditemukan ketika seseorang sedang menggali sumur, atau pada waktu membuka lahan untuk bercocok tanam. Pada kesempatan lain fosil ditemukan karena suatu daerah mengalami longsor sehingga lapisan batuannya terbuka dan fosil yang ada di dalamnya muncul ke permukaan.

 Jadi batuan sedimen adalah lokasi terbaik dan paling besar kemungkinannya untuk menemukan fosil. Gambar di kiri adalah contoh batuan sedimen yang mengandung fosil (www.edupic.net). Batuan yang baru terpapar (freshly exposed), seperti pada waktu membuat jalan atau jalan kereta api, juga berkemungkinan besar mengandung fosil. Tempat-tempat penambangan batu atau tempat pembangunan proyek tertentu, batu karang, tepi sungai, dan tempat-tempat terbuka alamiah lainnya juga merupakan tempat yang berpeluang besar untuk menemukan fosil. Tapi kita perlu berhati-hati karena tempat-tempat seperti itu biasanya sangat berbahaya.

Catatan: untuk mengetahui lebih jauh tentang jenis-jenis batuan Anda bisa datang langsung ke Museum Geologi di Bandung.


 

Fosilisasi

Fosilisasi (fossilization) adalah proses terbentuknya organisma menjadi fosil. Pembentukan fosil terjadi melalui sebuah proses yang rumit yang terdiri atas gabungan berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu faktor fisikal, kimiawi, dan biologikal. Ilmu yang mempelajari proses fosilisasi merupakan cabang ilmu tersendiri dalam paleontologi, yaitu taphonomy (dari bahasa Yunani   taphÄ“ = penguburan, dan nomos = hukum).

Tahap fosilisasi
Ada tiga tahap utama dalam pembentukan fosil, yaitu kematian, peristiwa pre-burial (pra-terkubur) dan peristiwa
post-burial (pasca-terkubur). Jadi untuk menjadi fosil sebuah organisma harus mengalami kematian terlebih dahulu.
Fosilisasi (www.blog.websaurs.com)

Kematian bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti usia tua, sakit, dimangsa predator, infeksi parasit, dan terluka (baik karena terjatuh maupun berkelahi). Fosil dinosaurus banyak mengindikasikan bahwa binatang ini rentan terhadap pernyakit radang sendi, sedangkan parasit biasanya menyerang binatang invertebrata dan krinoid. Hal lain yang dapat menyebabkan kematian adalah yang berkaitan dengan kondisi fisikal, kimiawi dan biologikal lingkungan (seperti perubahan iklim)

Proses yang dialami organisma setelah kematian adalah pembusukan karena bakteri pembusuk, dan yang lebih dahulu mengalami pembusukan adalah jaringan lunak (daging, otot). Jaringan keras seperti tulang dan gigi adalah bagian tubuh yang awet sehingga bagian inilah yang biasanya terfosilkan. Selain karena pembusukan kerusakan jaringan lunak terjadi karena dcabik dan dimakan binatang pemakan bangkai.

Organisma yang terkubur cepat (rapid burial) biasanya akan terfosilkan di tempat dia mati dan dalam posisi awal ketika dia mati. Fosil ini disebut fosil autochtonous. Fosil yang mengalami rapid burial biasanya terawetkan dengan baik karena tidak mengalami gangguan pasca-mati dan struktur anatominya utuh. Sedangkan organisma yang tidak langsung terkubur, biasanya akan mengalami proses-proses alamiah seperti hanyut terbawa arus air, busuk karena angin dan udara, atau dicabik binatang pemakan bangkai sehingga posisinya sudah berpindah dari tempat dia mati, dan susunan tubuhnya sudah tidak anatomis lagi. Fosil seperti ini disebut fosil allochtonous. Maksud tidak anatomis adalah organisma tersebut sudah tercerai-berai tulang-belulangnya sehingga bentuk anatominya tidak seperti bentuk ketika organisma tersebut masih hidup.

Rapid burial biasanya terjadi di lingkungan air atau dekat dengan air, dan organisma yang mengalami fosilisasi seperti ini biasanya adalah binatang air. Untuk binatang yang hidup di daratan, fosilisasi melalui rapid burial sangat jarang terjadi. Biasanya hal tersebut terjadi bila ada gunung meletus sehingga banyak binatang mati seketika di suatu tempat dalam jumlah massal dan langsung terkubur dalam timbunan sedimen material muntahan gunung api. (Julimar 16/09/2010).

Bacaan utama:  Doyle, Peter 1996 Understanding Fossils: An Introduction to Invertebrate Paleontology, John Wiley & Sons, New York.

Minggu, 12 September 2010

Adakah ini di Indonesia?

Sumber: www.museumtwo.blogspot.com

Seni Kaligrafi


Sumber www.videoofturkey.com
Kata calligraphy berasal dari bahasa Yunani killi (indah) dan graphos (tulisan). Kaligrafi sebagai seni digunakan untuk mengekspresikan harnomi dan emosi melalui bentuk-bentuk huruf. Meskipun kita tidak memahami apa yang dituliskan oleh sang kaligrafer, kita dapat menikmati keindahan setiap goresan huruf yang ditorehkan menjadi bentuk-bentuk yang indah. Kebudayaan Cina sudah lama mengenal seni kaligrafi ini, dan biasanya yang dituliskan adalah puisi ataupun kata-kata hikmah dari para filsuf di zamannya. Jepang dan Korea mengembangkan seni kaligrafi yang diadopsi dari seni kaligrafi Cina. Di Eropa seni kaligrafi berkembang untuk keperluan penulisan Injil. Di dunia Islam kaligrafi terutama berkembang karena ada larangan melukis bentuk-bentuk mahluk hidup (binatang dan manusia). Objek kaligrafi para kaligrafer muslim adalah ayat-ayat Al Quran. Dengan demikian seni kaligrafi di dunia Islam turut membantu terpeliharanya ayat-ayat Allah. Namun di kemudian hari, ketika kekuasaan Islam hampir runtuh dan pelaksanaan norma-norma Islam semakin longgar, di dunia Islam (dipelopori oleh Turki) muncul bentuk-bentuk binatang dalam seni kaligrafi. Seni kaligrafi jenis ini disebut zoomorphic calligraphy.

The Contemporary Museum of Calligraphy (www.wikipedia.com)

Tanggal 14 Agustus tahun 2008 yang lalu Rusia membuka museum kaligrafi di kota Moscow. Museum bernama The Contemporary Museum of Calligraphy ini menyimpan koleksi seni kaligrafi Arab, Yahudi, Cina, Jepang, Rusia, dan sistem tulisan Eropa lainnya. Meskipun di Turki, Cina, Jepang, dan Korea sudah ada museum kaligrafi, museum kaligrafi di Moscow ini merupakan yang terbesar dan terlengkap untuk jenisnya, dan merupakan museum pertama di Rusia untuk seni kaligrafi.
Julimar 12/09/2010

Religiusitas Ilmu Pengetahuan


Gambar: www.intifadah87.blogspot.com
Oleh: Julianty M



Dewasa ini perkembangan ilmu sedemikian pesatnya sehingga ilmu pengetahuan, terutama di negara-negara barat, dianggap lebih tinggi daripada agama. Mereka seperti tidak membutuhkan agama karena ilmu pengetahuan dipandang dapat mengatasi semua persoalan dalam kehidupan umat manusia. Namun, lambat-laut para ilmuwan mulai sadar bahwa ilmu pengetahuan ternyata tidak bisa menyelesaikan semua persoalan kehidupan. Ada hal-hal immaterial yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan semata. Akhirnya banyak di antara mereka kembali kepada kehidupan spiritual, yang ironisnya belum tentu religius/agamis.

Logika berpikir barat memisahkan dengan tegas antara agama dengan ilmu pengetahuan. Itu sebabnya meeka merasakan kekosongan jiwa. Islam tidak mengenal pemisahan antara ilmu dengan agama karena agama adalah pedoman hidup bagi umatnya; jadi setiap segi kehidupan haruslah berada dalam kerangka agama. Dalam Islam ditekankan bahwa agama harus disertai dengan ilmu, dan ilmu harus dibingkai oleh agama. Ilmu, dengan demikian, tidak bebas nilai.

Pencapaian ilmu pengetahuan seharusnya semakin mendekatkan manusia (terutama ilmuwan) kepada Sang Pencipta. Orang yang memahami dan menghayati benar ilmunya akan menyadari betapa luasnya ilmu Sang Pemilik Ilmu, dan betapa sedikitnya ilmu yang kita miliki. Sedikit sekali yang diberikanNya kepada kita. Itu sebabnya ilmuwan sejati senantiasa rendah hati dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Jika ilmu malah menjauhkan seseorang dari Sang Pencipta, mka pastilah ada yang salah dalam proses dia mencari ilmu. Mengapa demikian? Karena ilmu pada dasarnya adalah hidayah dari Sang Pencipta.

Yang perlu ditekankan adalah tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu pengetahuan. Apa yang sekarang dianggap benar di dunia ilmu pengetahuan, suatu saat akan runtuh karena adanya perkembangan baru, penemuan baru, dan peralatan penelitian baru dalam ilmu pengetahuan. Kebenaran mutlak hanya milik Sang Pencipta, Penguasa Ilmu Pengetahuan. Al-Faruqi dalam Islamization of Knowledge: General Principle and Work Plan (1982) mengemukakan metode tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran. Dengan ini dimaksudkan bahwa ilmu pengetahuan harus memperkuat keyakinan kita akan ketauhidan Allah SWT.

Dalam perspektif ini Al-Faruqi mendudukkan ilmu pengetahuan dalam posisi yang benar, yaitu sebagai bagian dari hidayah Allah kepada manusia di samping agama (Luth, 2010). Selanjutnya menurut Luth, metode tauhid yang dimaksudkan Al-Faruqi adalah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pintu masuk untuk meyakini keberadaanNya dan ketunggalanNya.

Jadi, janganlah melepaskan ilmu dari agama karena jika sampai demikian maka umat manusia akan jatuh kembali ke masa jahiliyah, kebodohan spiritual. Jadi, mari kita meningkatkan keyakinan kita akan ketauhidan Allah melalui disiplin ilmu masing-masing. (Julimar, 12/09/2010).

Sabtu, 11 September 2010

Metode Etnografi untuk penelitian pengunjung

Perilaku pengunjung sudah menjadi perhatian saya sejak saya bekerja di museum. Saya tertarik melihat aneka perilaku pengunjung yang datang ke Museum Geologi, yang dalam pandangan saya kebanyakan datang untuk tujuan rekreasi semata. Hingga sekarang, sudah 16 tahun saya di Museum Geologi perilaku pengunjung tidak mengubah pandangan saya terhadap mereka: meskipun mereka datang silih berganti, perilaku mereka menunjukkan kecenderungan umum yang sama.

Yang paling mencolok perilaku rekreasinya adalah rombongan siswa sekolah yang biasanya datang dalam jumlah besar sehingga sulit dikendalikan. Kadang saya kehilangan kesabaran menghadapi perilaku mereka yang cenderung mengarah pada tindakan destruktif. Rombongan anak sekolah berusia tanggung ini meninggalkan "kesan" di museum kami berupa aneka coretan di benda peraga, baik di panel peragaan maupun di benda koleksi. "Kesan" lain adalah bau keringat yang menyengat lama setelah rombongan pergi.

Saya selalu ingin tahu untuk apa sebenarnya mereka datang, dan apa yang mereka harapkan dari kedatangan mereka ke museum. Sering saya mendatangi siswa, guru, ataupun petugas biro perjalanan yang membawa mereka. Saya berbincang dengan mereka tentang berbagai hal berkaitan dengan museum, khususnya museum kami. Dari perbincangan tersebut saya berkesimpulan bahwa saya harus serius melakukan penelitian pengunjung untuk mendapat masukan mengenai apa yang diharapkan pengunjung dari museum kami, dan metode yang tepat untuk ini adalah etnografi. Mengapa etnografi? Mengapa bukan metode survei?

Etnografi adalah metode penelitian kualitatif yang lazim digunakan dalam ilmu sosial, khususnya antropologi. Dewasa ini etnografi bahkan sudah banyak digunakan dalam riset pemasaran untuk branding perusahaan. Dengan metode ini peneliti terlibat langsung dengan komunitas yang ditelitinya dengan cara mengamati, mencatat, dan turut serta dalam kehidupan sehari-hari subjek penelitian. Subjek penelitian biasanya kelompok kecil masyarakat sehingga penelitian bersifat menyeluruh (holistik). Kata kuncinya adalah participant observation.

Berkenaan dengan penelitian pengunjung, etnografi diharapkan dapat mengungkap motivasi sesungguhnya pengunjung datang ke museum. Perilaku berkaitan dengan nilai budaya. Dengan mengetahui nilai budaya yang menjadi latar belakang perilaku pengunjung, museum dapat menentukan strategi yang tepat menghadapi perilaku pengunjung. Dengan demikian dapat mengantisipasi setiap kemungkinan yang dapat mengurangi atau menghilangkan nilai informasi penting yang terkandung dalam koleksi museum akibat buruknya perilaku pengunjung selama berada di museum.

Memang perlu wawancara mendalam untuk mengungkap hal-hal yang tidak mungkin terungkap melalui metode survei. Kalau perlu, dalam metode etnografi peneliti mendatangi subjek di tempat asalnya. Oleh karena itu metode etnografi membutuhkan alokasi waktu dan biaya yang relatif lebih besar dibandingkan dengan metode survei. Namun hasil yang didapat lebih akurat.

Berikut adalah perbandingan antara metode survei dengan etnografi.
METODE SURVEI
-    Objek studi biasanya dipilih secara acak atau ditentukan oleh peneliti
-    Peneliti tidak memiliki kontak personal dengan masyarakat yang ditelitinya. Biasanya peneliti menggunakan telepon untuk mewawancara responden, atau memakai kuesioner yang harus diisi oleh responden
-    Peneliti lebih memusatkan perhatian pada sejumlah kecil variabel daripada kepada kehidupan masyarakat secara keseluruhan
-    Peneliti biasanya bekerja di lingkungan modern yang melek huruf sehingga responden dapat mengisi kuesioner
-    Hasil penelitian harus dianalisis secara statistik karena respondennya banyak dan cakupan wilayahnya luas.
METODE ETNOGRAFI
-    Subjek penelitian biasanya menyeluruh (whole functioning community)
-    Peneliti mendapatkan data dengan cara terjun langsung ke masyarakat (first-hand fieldwork)
-    Peneliti memiliki hubungan pribadi dengan masyarakat yang diteliti, yang didasarkan pada hubungan pribadi dengan informan (key informant/s)
-    Etnografer biasanya mengenal baik informannya dan terlibat dengan kegiatan keseharian masyarakat yang diteliti
-    Peneliti mempelajari seluruh segmen masyarakat, baik yang buta aksara maupun yang melek huruf
-    Tidak perlu statistik karena masyarakat yang diteliti lingkupnya kecil.
Sumber: Kottak, C.P., 1991 Anthropology: the exploration of human diversity, 5th edition, McGraw Hill Inc., New York.

Untuk yang ingin mengetahui lebih jauh tentang penerapan metode etnografi dalam penelitian silakan mampir di sini, atau di sini.

Bangunan Museum Geologi


Gedung Museum Geologi yang terletak di Jalan Diponegoro No. 57 Bandung disebut-sebut memiliki langgam arsitektur art deco. Apa sebenarnya gaya art deco ini? Untuk yang penasaran silakan klik di sini.

Nur dari Timur


KOMPAS, Sabtu, 18 Oktober 2008 | 00:41 WIB

Gede Prama

Ia yang pernah hidup di Barat tahu kalau berbicara itu amat penting. Dibandingkan kehidupan di Timur, lebih banyak hal di Barat yang diekspresikan dengan kata-kata.

Fight, argue, dan complain, itulah ciri-ciri manusia yang disebut ”hidup” di Barat. Tanpa perlawanan, tanpa adu argumentasi, orang dianggap ”tidak hidup” di Barat. Intinya, melawan itu kuat, diam itu lemah, melawan itu cerdas, dan pasrah itu tolol.

Dengan latar belakang berbeda, pola hidup ala Barat ini menyebar cepat melalui televisi, internet, radio, media, dan lainnya. Dengan bungkus seksi demokrasi, hak asasi manusia, semua dibawa ke Timur sehingga dalam banyak keadaan (angka bunuh diri naik di Jepang, Thailand mengalami guncangan politik, Pakistan ditandai pembunuhan politik), banyak manusia di Timur mengalami kebingungan roh Timur dengan baju Barat.

Perhatikan kehidupan desa sebagai barometer. Tanpa banyak berdebat siapa yang akan menjadi presiden, ke mana arah masa depan, partai apa yang akan menang. Di desa yang banyak burungnya, tetapi manusianya banyak menonton televisi (sebagai catatan, realita di desa amat sederhana, tontonan di televisi amat menggoda), tema hidup setiap pagi adalah ”burung menyanyi, manusia mencaci”.

Berhenti melawan
Bayangkan seseorang yang tidak bisa berenang lalu tercemplung ke sungai yang dalam. Pertama-tama ia melawan. Setelah itu tubuhnya tenggelam. Karena tidak bisa bernapas, meninggallah ia. Anehnya, setelah meninggal tubuhnya mengapung di permukaan air. Dan alasan utama mengapa tubuh manusia meninggal kemudian mengapung karena ia berhenti melawan.

Ini memberi inspirasi, mengapa banyak manusia tenggelam (baca: stres, depresi, banyak penyakit, konflik, perang) karena terus melawan. Yang menjadi guru mau jadi kepala sekolah. Orang biasa mau jadi presiden. Pegawai mau cepat kaya seperti pengusaha. Intinya, menolak kehidupan hari ini agar diganti kehidupan yang lebih ideal kemudian. Tidak ada yang melarang seseorang jadi presiden atau pengusaha, hanya alam mengajarkan, semua ada sifat alaminya Seperti burung sifat alaminya terbang, serigala berlari, dan ikan berenang.

Suatu hari konon binatang iri dengan manusia karena memiliki sekolah. Tak mau kalah, lalu didirikan sekolah berenang dengan gurunya ikan, sekolah terbang gurunya burung, sekolah berlari gurunya serigala. Setelah mencoba bertahun-tahun semua binatang kelelahan. Di puncak kelelahan, baru sadar kalau masing-masing memiliki sifat alami. Dalam bahasa tetua di Jawa, puncak pencaharian bertemu saat seseorang mulai tahu diri.

Meditasi tanpa perlawanan
Nyaris semua manusia begitu berhadapan dengan persoalan, penderitaan langsung bereaksi mau menyingkirkannya. Bosan lalu cari makan. Jenuh kemudian cari hiburan. Sakit lalu buru-buru mau melenyapkannya dengan obat. Inilah bentuk nyata dari hidup yang melawan sehingga berlaku rumus sejumlah psikolog what you resist persist. Apa saja yang dilawan akan bertahan. Ini yang menerangkan mengapa sejumlah kehidupan tidak pernah keluar dari terowongan kegelapan karena terus melawan.

Berbeda dengan hidup kebanyakan orang yang penuh perlawanan, di jalan meditasi manusia diajari agar tidak melawan. Mengenali tanpa mengadili. Melihat tanpa mengotak-ngotakkan. Mendengar tanpa menghakimi. Bosan, sakit, sehat, senang, dan sedih semua dicoba dikenali tanpa diadili. Ia yang rajin berlatih mengenali tanpa mengadili, suatu hari akan mengerti.

Dalam bahasa Inggris, mengerti berarti understanding, bila dibalik menjadi standing under. Seperti kaki meja, kendati berat menahan, ia akan berdiri tegak menahan meja. Demikian juga dengan meditator. Persoalan tidak buru-buru dienyahkan, penderitaan tidak cepat disebut sebagai hukuman, tetapi dengan tekun ditahan, dikenali, dan dipelajari. Setelah itu terbuka rahasianya, ternyata keakuan adalah akar semua penderitaan. Semakin besar keakuan semakin besar penderitaan, semakin kecil keakuan semakin kecil persoalan. Keakuan ini yang suka melawan.

Indahnya, sebagaimana dialami banyak meditation master, saat permasalahan, penderitaan sering dimengerti dalam-dalam sampai ke akar-akarnya, diterangi dengan cahaya kesadaran melalui praktik meditasi, ia lalu lenyap. Ini mungkin penyebab mengapa Charlotte JokoBeck dalam Nothing Special menulis, ”Sitting is not about being blissful or happy. It’s about finally seeing that there is no real difference between listening to a dove and listening to somebody criticizing us”. Inilah berkah spiritual meditasi. Tidak ada perbedaan antara mendengar merpati bernyanyi dan mendengar orang mencaci. Keduanya hanya didengar. Yang bagus tak menimbulkan kesombongan. Yang jelek tak menjadi bahan kemarahan. Pujian berhenti menjadi hulunya kecongkakan. Makian berhenti menjadi ibunya permusuhan.

Saat melihat hanya melihat. Ketika mendengar hanya mendengar. Perasaan suka-tidak suka berhenti menyabotase kejernihan dan kedamaian. Meminjam lirik lagu Bob Marley dalam Three little birds: don’t worry about the things, every single thing would be allright. Tidak usah khawatir, semua sudah, sedang, dan akan berjalan baik. Burung tak sekolah, tak mengenal kecerdasan, tetapi terhidupi rapi oleh alam, apalagi manusia. Inilah meditasi tanpa perlawanan. Paham melalui praktik (bukan dengan intelek) jika keakuan akar kesengsaraan. Begitu kegelapan keakuan diterangi kesadaran, ia lenyap. Tidak ada yang perlu dilawan.

Seorang guru yang telah sampai di sini berbisik: the opposite of injustice is not justice, but compassion. Selama ketidakadilan bertempur dengan keadilan, selama itu juga kehidupan mengalami keruntuhan. Hanya saling mengasihi yang bisa mengakhiri keruntuhan. Sejumlah sahabat di Barat yang sudah membadankan kesempurnaan meditasi seperti ini kerap menyebut ini dengan Nur dari Timur. Cahaya penerang dari Timur di tengah pekatnya kegelapan kemarahan, kebencian, ketidakpuasan, dan kebodohan. Seperti listrik bercahaya karena memadukan positif-negatif, meditasi hanya perpaduan kesadaran-kelembutan, membuat batin bisa menerangi diri sendiri.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara