Minggu, 28 November 2010

Strategi Pemasaran Museum

Sumber: Jogja Tourism Training Centre - UGM

Museum merupakan bagian dari objek dan daya tarik wisata dan sangat potensial untuk dikembangkan. Keberadaan museum dengan berbagai macam koleksinya merupakan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang mengunjunginya. Museum menurut definisi ICOM adalah suatu lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat, terbuka untuk umum, yang mengumpulkan, merawat, meneliti, mengkomunikasikan, dan memamerkan benda-benda bukti material manusia dan lingkungannya untuk tujuan studi, pendidikan, dan pariwisata. Oleh karena itu, museum bisa menjadi bahan studi oleh kalangan akademis, dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi dan pemikiran imajinatif di masa depan. Mengacu pada definisi museum tersebut, fungsi museum terbagi menjadi fungsi sosial dan fungsi komersial. Fungsi sosial museum meliputi pendidikan, konservasi dan pelayanan yang diberikan kepada pengunjung. Adapun fungsi komersial museum diantaranya mengumpulkan sumber daya sebagai bahan pengembangan museum. Dari sisi komersialpun museum merupakan lembaga nirlaba yang bukan berarti koleksi yang dimiliki tidaklah menarik. Pengelola museum dituntut untuk dapat  merawat, meneliti serta memamerkan koleksi dengan kemasan yang menarik walaupun dengan dana pengelolaan yang terbatas. Selain itu, dengan jumlah atau tingkat kunjungan wisatawan yang banyak tentunya akan meningkatkan citra museum sebagai  objek dan atraksi wisata alternatif. Terdapat dua jenis pengunjung museum, yang pertama yaitu para kolektor, seniman, para perancang, ilmuwan, dan mahasiswa, yang karena latar belakang sosialnya seakan-akan ada hubungan tertentu dengan koleksi museum, dan bahwa kunjungan mereka ke museum itu sudah direncanakan semula dengan motivasi yang jelas.

Jenis pengunjung museum yang kedua, yaitu .....................

Sabtu, 27 November 2010

Universitas yang Tidur dalam Kemewahan

Oleh: Wannofri Samry

KOMPAS.com – Paling tidak lima tahun terakhir universitas-universitas di Indonesia secara serentak menslogankan ”universitas kelas dunia” seperti nyanyi vokal yang tidak jelas bunyi awal dan akhirnya. Bunyi nyanyi itu indah didengar dan dibayangkan, tetapi buruk dilihat dan pahit dirasakan. Realitasnya, universitas-universitas di Indonesia tidak pernah menduduki peringkat puncak di Asia, bahkan di Asia Tenggara.

Dibandingkan dua jirannya, Malaysia dan Singapura, keterpurukan itu terlihat jelas. Beberapa universitas Malaysia dan Singapura pernah menduduki posisi puncak Asia. National University Singapura, misalnya, di ranking ketiga Asia tahun 2009, Universiti Malaya di ranking ke-4 Asia (2004), dan Universitas Kebangsaan Malaysia masuk 200 dunia pada 2006.

Tahun ini, dari ranking versi QS (London), Indonesia secara keseluruhan belum mencatat capaian impresif, betapapun banyak komentar subyektif mengagulkan diri dari pejabat perguruan tinggi. Ketika Malaysia menempatkan lima universitasnya dalam 100 terbaik Asia, Indonesia hanya menempatkan dua universitas.

Universiti Malaya (Malaysia) di ranking 42 Asia, turun setingkat dari 2009, Universiti Kebangsaan Malaysia (58), Universiti Sains Malaysia (69), Universiti Putra Malaysia (77) dan Universiti Teknologi Malaysia (90). Sementara Indonesia, posisi terbaik dicapai Universitas Indonesia (UI) yang masuk 50 besar Asia dan Universitas Gajah Mada (UGM, 85). Selebihnya di luar angka 100.

Institut Teknologi Bandung (ITB) terlempar ke peringkat 113 Asia, kalah dari Universitas Airlangga (Unair, 109). Sementara Institut Pertanian Bogor (IPB) di peringkat 119 dan Universitas Padjadjaran (Unpad) serta Universitas Diponegoro (Undip) di ranking 161.

Jumat, 26 November 2010

Perlunya Museum Monumental Gempa

Masyarakat perlu disadarkan tentang pentingnya kehidupan siap bencana.
Oleh Dwikorita Karnawati
Pengajar dan Peneliti pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Meskipun wilayah Indonesia sering mengalami bencana gempa bumi yang menimbulkan ribuan korban jiwa, ratusan ribu rumah/bangunan roboh, kerusakan lingkungan dan trauma psikologis, hingga saat ini belum satu pun museum monumental gempa bumi dibangun.

Belum adanya museum monumental ini cukup memprihatinkan, bahkan mengkhawatirkan bagi kepentingan pembelajaran masyarakat untuk siap bencana. Dalam kurun waktu puluhan tahun, masyarakat kita cenderung mudah melupakan kejadian gempa dan dampaknya. Bahkan anak cucu kita mungkin sama sekali tidak bisa lagi membayangkan kejadian gempa bumi tersebut dan dampaknya.

Sebagai contoh, saat ini kita sudah tidak dapat lagi melihat bekas-bekas dampak gempa di Yogyakarta yang baru saja terjadi pada tahun 2006 lalu, karena seluruh bangunan yang roboh telah selesai direkonstruksi. Demikian juga dampak gempa di Nias dan di Aceh. Jadi kehadiran museum monumental gempa ini sangat penting untuk selalu mengingatkan masyarakat dan anak cucu kita betapa dahsyatnya dampak gempa. Juga untuk menyadarkan masyarakat kita bahwa kehidupan siap bencana perlu selalu kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan perlu kita kembangkan sebagai budaya siap bencana hingga ke beberapa generasi penerus kita.

Manfaat lain dari museum monumental ini adalah untuk kepentingan riset yang mendukung upaya mitigasi bencana gempa bumi. Tentunya museum monumental ini tidak hanya berupa bangunan fisik saja, namun dapat dilengkapi dengan contoh-contoh cerita, dongeng, lagu, puisi, dan kearifan lokal yang dapat dikembangkan untuk membangun budaya siap bencana.

Pelajaran dari negara lain
Dalam hal ini, kita bisa belajar dari pengalaman negara lain. Sebagai contoh di Cina bagian selatan, tepatnya di Kota Yingxiu, yang masuk di wilayah Provinsi Sichuan, telah didirikan museum monumental gempa bumi.

Museum ini merupakan kompleks gedung sekolah yang roboh akibat gempa bumi Wenchuan pada 12 Mei 2008. Gedung sekolah ini dipilih sebagai museum karena kondisi kerusakan bangunannya dinilai paling kompleks, yaitu dapat mengekspresikan berbagai jenis gelombang rambatan gempa, baik yang mengayun secara vertikal ataupun lateral.

Di museum ini diceritakan pula aksi heroik seorang guru, yang berhasil menyelamatkan seluruh siswa di kelasnya saat gempa terjadi. Guru ini mengutamakan seluruh murid di kelasnya dievakuasi lebih dahulu sebelum bangunan roboh, namun akhirnya justru sang guru yang tidak mendapat kesempatan lolos dari robohnya gedung. Pemerintah Cina kemudian memutuskan, gedung sekolah ini tidak boleh diratakan dengan tanah untuk dibangun kembali dalam tahap rekonstruksi. Sebaliknya, ia tetap dipertahankan dalam kondisi roboh sebagai monumen peringatan.

Selain di Kota Yingxiu, dibangun pula beberapa monumen gempa di wilayah sekitar kota tersebut, dengan cara mempertahankan beberapa dampak gempa seperti bongkahan batu besar yang menggelinding dari lereng bukit ke jalan raya, jembatan yang roboh, bangunan yang terangkat oleh patahan naik namun tetap berdiri kokoh karena bangunan tersebut telah dirancang tahan gempa, serta kondisi tanah yang terpotong oleh patahan dan lereng bukit yang baru muncul karena permukaan tanah terdorong ke atas oleh patahan naik.

Satu monumen yang dirasakan paling mencekam ada di wilayah Beichuan. Akibat gempa Wenchuan, 12 Mei 2008, kota ini hancur total dan 13 ribu warganya tertimbun runtuhan bangunan. Dari museum kota mati ini dapat kita sadari bahwa Beichuan berada tepat di dalam zona patahan aktif, namun tanpa menerapkan konstruksi bangunan yang tepat. Ahli geologi Cina sebenarnya telah mengusulkan agar letak kota ini dipindahkan. Namun usulan ini tidak disetujui karena di dalam kota ini terdapat banyak peninggalan warisan budaya yang tidak dapat dipindahkan. Akhirnya, penduduk beserta warisan budaya kota ini roboh dan tertimbun gempa.

Monumen sejenis banyak pula ditemui di Taiwan dan Jepang, yang juga merupakan negara yang sering dilanda gempa bumi. Lantas, bagaimana di Indonesia? Tampaknya, hingga saat ini masih sangat minim kepedulian kita untuk membangun museum monumental ini, dengan berbagai pertimbangan pendanaan dan pemeliharaan. Bahkan mungkin pula kebutuhan adanya museum untuk edukasi bencana belum dirasa sebagai kebutuhan prioritas, karena dampak kehadiran museum ini tidak langsung terlihat, namun baru dirasakan manfaatnya dalam jangka panjang. Sementara itu, kejadian gempa bumi masih akan terus terjadi di Indonesia, dan satu pun tidak ada yang membekas bagi generasi anak cucu kita. Dapatkah budaya siap bencana menjadi budaya bagi kita dan anak cucu kita?


Sumber: http://geologi.iagi.or.id/2010/01/04/perlunya-museum-monumental-gempa/

Minggu, 21 November 2010

Pameran di Mal

Pameran di mal bagi museum setahu saya sudah cukup lama menjadi wacana. Pengelola museum ingin agar museum didatangi oleh sekian banyak orang seperti halnya mal. Harus diakui memang, bahwa orang lebih mudah datang ke mal dibandingkan ke museum, dan mereka lebih senang berlama-lama di mal daripada di museum. Daya tarik mal yang memang dirancang untuk memanjakan mata pengunjungnya (dan dengan demikian mudah mengeluarkan isi dompetnya) sangat membius warga kota, terutama kalangan muda. Banyak anak muda datang ke mal hanya untuk nongkrong dan ngobrol ke sana ke mari. Mungkin sedikit sekali yang berbelanja. Mal menjadi ajang pertemuan sosial untuk berbagai lapisan masyarakat dari segala lapisan usia dan jenis pekerjaan.

Hingga saat ini pameran di mal tetap menjadi wacana. Belum ada museum yang mewujudkan wacana ini menjadi kenyataan. Entah apa kendalanya. Saya juga tidak tahu usaha apa yang sudah dilakukan  para pengelola museum untuk mewujudkan cita-citanya ini. Namun, secara tak terduga Museum Geologi malah mendapat undangan untuk berpameran di sebuah mal di kota kecil di Jawa Timur! Bagi saya ini luar biasa.....ada kota kecil yang mau mengundang museum berpameran di malnya. Wah, ini benar-benar tantangan yang menggetarkan hati.  Surat-menyurat berlangsung....... membahas materi yang akan dipamerkan serta koleksi yang akan dibawa. Tentu saja termasuk di dalamnya bagaimana pengangkutan yang aman hingga di tempat tujuan dan kembali lagi ke Bandung dengan selamat. Ketika semuanya berhasil dilaksanakan, semua pihak lega dan hasilnya sudah ditampilkan di tulisan sebelumnya.

Saya bukan hendak membahas bagaimana pameran itu berlangsung, melainkan hendak menyoroti proses yang terjadi di balik pameran tersebut. Ada beberapa hal yang perlu dicermati (ternyata) bila museum ingin berpameran di mal.

1.    Pemilihan tema pameran: tema harus ditentukan dengan cermat agar apa yang ditampilkan dapat menarik sebanyak mungkin perhatian publik dan menambah wawasan intelektual mereka. Pameran secara keseluruhan sebaiknya merupakan alur cerita. Di titik ini bukan tidak mungkin terjadi benturan kepentingan antara pihak museum dengan pengelola mal. Mal adalah wahana hiburan sedangkan museum lebih kental sisi edukasi dan ilmiahnya. Kedua belah pihak harus mampu menggabungkan ketiga aspek ini dalam kemasan yang menarik. Tata pameran benda museum di mal harus tetap mempertahankan aspek ilmiah yang benar dan baik. Keindahan menjadi aspek berikutnya. Bukan sebaliknya.

2.    Terkait dengan butir 1, pameran harus merupakan exhibition, bukan sekedar display. Dalam museologi display bermakna memamerkan koleksi tanpa diberi interpretasi, sedangkan exhibition adalah memamerkan koleksi dengan diberi interpretasi (keterangan dalam label ataupun caption).

3.    Koleksi yang dibawa: sebaiknya tidak membawa benda koleksi yang asli. Mal adalah tempat berkumpulnya banyak orang dan kita tidak tahu sejauh mana rasa ingin tahu mereka. Pengunjung mal yang terlalu bersemangat dan rasa ingin tahunya besar cenderung berdesakan ingin melihat pameran dan hal ini dapat menjadi penyebab rusaknya koleksi yang dipamerkan, baik sengaja maupun tidak sengaja.

4.    Pengangkutan: prosedur pengangkutan harus diperhatikan benar demi melindungi koleksi dari kerusakan selama perjalanan (terutama untuk jarak jauh). Meskipun yang dibawa adalah repllika koleksi, dalam kadar tertentu benda ini harus diperlakukan sama dengan aslinya. Pilih perusahaan ekspedisi yang mau terbuka untuk berdiskusi dengan pihak museum. Tidak semua perusahan ekspedisi berpengalaman dalam mengangkut koleksi museum. Pihak museum harus terlibat dalam proses pengepakan koleksi karena merekalah yang tahu benar di bagian mana benda tertentu rawan kerusakan. Bila dianggap perlu, tidak ada salahnya jika koleksi yang dibawa tersebut diasuransikan. Tentukan dengan jelas siapa yang akan menanggung seluruh biaya pengangkutan, termasuk biaya asuransinya.

5.    Terbuka atau tertutup?: tentukan apakah koleksi akan dipamerkan secara terbuka ataukah tertutup (misalnya dalam kotak kaca, atau dalam bingkai, dan sebagainya). Jika akan dipamerkan secara terbuka maka pihak museum harus mengantisipasi bahwa koleksi tersebut pasti akan disentuh oleh pengunjung, dan dengan sendirinya kemungkinan rusak cukup besar. Pengaman berupa rantai pembatas tidak banyak membantu jika pengunjung membludak.

6.    Penulisan label: tingkat keterbacaan tulisan dalam label harus cukup tinggi. Tulisan harus dapat dibaca dari jarak minimal 50  cm. Tulisan yang terlalu kecil akan mengakibatkan pengunjung mendekat untuk membacanya dan ini dengan sendirinya mendekati koleksi sehingga dikhawatirkan akan merusak koleksi jika mereka berdesakan untuk membaca label. Pemilihan jenis huruf (tipografi) perlu dipertimbangkan pula. Pilih jenis huruf yang sederhana dan mudah dibaca.

Demkian, semoga bermanfaat! (Julimar 21/11/2010).

Selasa, 16 November 2010

Semua Kata Mendua

      Putu Wijaya (Sastrawan dan dramawan)

      Arti sebuah kata adalah hasil sebuah perjanjian. Kamus melakukan kodifikasi tapi selalu terlambat, karena praktek bahasa bisa membelot dan berkhianat dengan seenak perutnya. Tidak ada hukum suci yang bisa membatasi karier sebuah kata. Tata bahasa boleh menjadi pengawal yang kejam, tapi sebuah kata bagai seniman bebas yang petualangannya menyelusup dan berbelok tajam tak bisa diramal.

      Sebuah kata sudah berubah artinya karena ditulis miring. Juga akan segera berbeda kalau diberikan dandanan tanda kutip, garis bawah, ditulis tebal, atau semua hurufnya kapital. Kata juga melakukan akrobatik karena lagu pengucapan, siapa yang mengucapkan, dalam keadaan bagaimana diucapkan, serta ucapan apa yang mendahului dan menguntitnya. Kata pun berganti arti ketika dikatakan dengan gerak, isyarat, atau rasa alias tidak dikatakan.

      Sudah diberitahukan oleh para ahli bahasa bahwa ada politik dalam bahasa. Bahwa bahasa bisa dipakai oleh kekuasaan untuk mengawal dominasinya. Perbedaan tingkat bahasa yang kita jumpai di berbagai bahasa daerah adalah bagian dari siasat para bangsawan untuk mencengkeram rakyat jelata tanpa senjata. Kekuatan bahasa telah menjadi bagian dari arsitektur feodalisme.

      Syukurlah, para perintis kemerdekaan telah memilih bahasa Melayu Pasar, yang tak diperalat politik bahasa, jadi bahasa nasional. Bukan saja kelompok minoritas tak merasa terancam, juga bahasa menjadi bagian pembelajaran demokrasi, yang membantu mengikis feodalisme. Namun tak berarti bahasa Indonesia sudah bebas dari ancaman. Dalam kata kata, masih ada virus ganas yang selalu bisa menerkam kalau pemakainya memanfaatkan "kebebasannya".

      Kata kata lewat perjanjian gelap, perjanjian yang tidak tertulis, memiliki arti bayangan. Tidak hanya "mendua" seperti yang dituduhkan oleh bahasa Indonesia, tetapi juga "berwayuh" arti (bahasa Jawa, berwayuh berarti lebih dari satu, tidak hanya dua bisa banyak, Prof. Djojodigoeno).

      Kata "bersih" adalah kata keada-an lawan dari kata "kotor". Kebersihan dalam pengertian bersih mengandung kemungkinan bahwa kebersihan itu terjadi akibat tidak terkontaminasi. Artinya memang masih suci. Tapi kebersihan itu juga mengandung kemungkinan hasil dari pembersihan. Sebenarnya tidak suci, tetapi karena sudah disucikan jadi bersih. Bila tidak ada penjelasan, kata bersih itu jadi mendua.

      Bersih tidak hanya mendua tapi juga berwayuh arti, ketika terjun dalam praktek. Seorang kepala desa memerintahkan warganya untuk melakukan kerja bakti agar kawasan hunian jadi bersih menjelang peringatan ulang tahun proklamasi. Warga lalu bertindak. Tapi, di telinga seorang gila, kata bersih berarti lain. Setelah warga beristirahat, karena seharian membersihkan kampung, malam malam dia bertindak. Esok harinya seluruh kampung kaget. Pohon pisang di sepanjang jalan yang merupakan sumber nafkah sampingan warga "bersih" ditebang.

      Seperti kata bersih, dalam praktek, kata: amankan, tertibkan, atur, selesaikan, tuntaskan, pikirkan, selamatkan, atasi, pertimbangkan, manfaatkan, serta lain sebagainya, mengandung arti bayangan. Akibatnya, kata kata selalu menjadi teka-teki. Kamus tak akan mampu menjadi polisi lalu lintas kata dalam bahasa Indonesia. Pemiliknyalah yang paling tahu apa yang dimaksudkannya atas sebuah kata. Kalau "pemilik" kata absen, dibutuhkan tafsir. Dan itu membuat artinya bisa terbang jauh bahkan menjadi kebalikan dari apa yang dimaksudkan semula, sehingga jadi perkara.

      Kata cicak dan buaya sudah melahirkan sebuah peristiwa yang sangat ramai.

      Ada pertanyaan lucu. Benarkah kata (bahkan juga bahasa) diciptakan oleh manusia? Atau pemakai kata (baca: bahasa) yang sebenarnya dipilih oleh bahasa itu. Apakah bayang bayang dalam hampir setiap kata dalam bahasa Indonesia memang diciptakan oleh manusia Indonesia yang tidak suka adanya kepastian? Atau kemenduaan, keberwayuhan arti dalam kata kata bahasa Indonesia itulah yang telah memilih manusia Indonesia sebagai domisilinya.

      Karena potensi mendua itulah, ba-hasa Indonesia "dituduh" STA tak pandai menjadi bahasa ilmiah. Barangkali itu juga sebabnya, setiap detik kata dengan berbagai kebangsaan dari seluruh dunia, tanpa visa bisa bebas keluar masuk di negeri ini. Serbuan kosakata asing itu tak hanya menunjukkan adanya krisis kebangsaan, tapi juga kepanikan. Orang baru merasa afdol bila kata katanya bebas dari pembonceng gelap, kalau sepukul dua pukul pakai kata cas cis cus.

      Dengan adanya bayangan arti dalam hampir semua kata, selalu dituntut penjelasan lanjut. Tidak cukup mencari arti sebuah kata lewat perjanjiannya dalam kamus. Kata kata selalu asing, sampai dia berhasil diartikan. Tetapi, anehnya, pergaulan tak kacau karena kenyataan itu. Bahkan sastra Indonesia menikmatinya. Bayang-bayang kata justru memacu perkembangan sastra Indonesia. Majalah Tempo, yang menggabungkan jurna-lisme dengan sastra, sempat men-jadi salah satu majalah yang terbesar dan membawa kepeloporan dalam bahasa media di Indonesia pada 1970 an.

      Yang kewalahan adalah politik, ekonomi, dan teknik. Karena ketiga teritorial itu tidak memanfaatkan sifat mendua kata. Ketiganya mengeluhkan sifat mendua itu sebagai kemis-kinan bahasa Indonesia. Dan umumnya para pelakunya tak suka membaca sastra. Mereka tak melihat- ada potensi luar biasa pada kata yang hakikatnya selalu mendua (rwa bhineda kearifan lokal Bali).

Jumat, 12 November 2010

Museum Geologi di Ajang SIEDEX 2010

Homo erectus mengguncang Sidoarjo
Museum Geologi mendapat undangan dari Suncity Mall di Sidoarjo untuk mengikuti pameran di ajang SIEDEX 2010 (Sidoarjo Education Expo) yang berlangsung 11-14 November 2010.. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin tahunan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo. Untuk pertama kalinya Museum Geologi diundang berpameran di mal. Kesempatan langka! Koleksi yang dibawa untuk dpamerkan adalah replika fosil Homo erectus P-VIII (S-17) berikut patung rekonstruksi fosil Homo erectus

Pameran dibuka kemarin (11 November 2010) oleh Bupati Sidoarjo. Masyarakat setempat tampak sangat antusias mengunjungi area pameran. Pameran kali ini diikuti oleh berbagai sekolah dari 18 kecamatan yang ada di Kabupaten Sidoarjo. Mereka menampilkan hasil karya masing-masing yang diunggulkan, mulai seni kriya hingga otomotif. Saya senang dan terharu melihat kreativitas para pelajar di kota kecil ini. Salut juga buat para guru yang telah membimbing mereka. Semoga ada industri yang mau melirik potensi ini.

Antusiane pengunjung semakin terlihat ketika mereka menyaksikan patung rekonstruksi fosil Homo erectus yang dibawa oleh Museum Geologi. Patung tersebut ditampilkan dalam sebuah diorama yang disusun sedemikan rupa sehingga merupakan cerita tentang perburuan. Dua sosok manusia purba dengan garang berhadapan dengan macan tutul yang sedang memangsa seekor kijang. Tata lampu yang diatur sedemikian rupa menambah efek dramatis peragaan ini.

Pameran museum di mal merupakan salah satu ajang untuk penyebarluasan informasi seni-budaya, ilmu pengetahuan dan pendidikan. Banyak orang yang belum mengenal museum dan banyak museum yang tidak menyapa masyarakat. Kesempatan untuk berpameran di mal seyogyanya dimanfaatkan oleh para pengelola museum (dan juga pengelola mal) karena pengunjung mal sangat beragam sehingga dengan berpameran di mal penyebaran informasi dan edukasi relatif merata (menyentuh semua kalangan). 

Museum merupakan memori kolektif masyarakat. Dengan pameran di tempat umum seperti ini saya selaku insan museum berharap akan tertanam memori kolektif ini di masyarakat, khususnya para pelajar. Mungkin sekarang mereka datang sekedar bersenang-senang mencari hiburan di mal, tapi di kemudian hari mereka akan mengenang pameran ini sebagai sesuatu yang telah mengisi ruang intelektual mereka. Dengan mengenal museum, khususnya Museum Geologi, mereka akan tahu ke mana harus mencari tahu jika ingin tahu tentang berbagai hal menyangkut seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun informasi bermanfaat lainnya. (Julimar, 12/11/2010).

Panggung di area pameran (Foto oleh Julimar)

Patung rekonstruksi fosil Homo erectus (Foto oleh Julimar)

Sebagian gerai peserta pameran (Foto oleh Julimar)


Senin, 08 November 2010

Pameran Keliling di Karawang

Kegiatan pameran buat saya adalah kegiatan yang menegangkan dan menyenangkan. Tidak mudah menyiapkan sebuah pameran. Pertama, harus menentukan tema, lalu menyusun cerita. Kemudian menuangkan cerita ke dalam gambar berikut memilih koleksi yang akan ditampilkan sesuai dengan cerita yang sudah dibangun. Tak lupa mengatur alur untuk pengunjung agar pengunjung dapat menikmati cerita sesuai dengan yang diharapkan. Jika ini semua sudah tersusun maka mulailah kerja angkut-angkut, potong-memotong hingga mengatur semuanya dalam sebuah gerai peragaan. Kerja sama tim sangat dibutuhkan dalam pekerjaan semacam ini. Semuanya dapat dilihat di foto-foto yang tersaji ini.




Sabtu, 06 November 2010

Hingar-bingar di Pameran Museum

Museum Geologi baru saja mengikuti pameran keliling museum yang secara berkala diselenggarakan oleh Museum Negeri Sri Baduga. Pameran keliling kali ini berlangsung di Kabupaten Karawang mulai tanggal 1 - 4 November 2010, diikuti oleh 10 museum dari Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Pengunjung pameran cukup membludak, sebagian  besar pelajar, mulai TK hingga SLTA. Mereka memang diwajibkan oleh sekolah masing-masing untuk datang ke pameran tersebut. Saya sendiri mendapat kesan bahwa siswa sebenarnya datang lebih karena adanya tugas sekolah tersebut. Mereka banyak memotret koleksi tanpa tahu apa yang dipotretnya. Ketika saya bertanya untuk apa mereka memotret, jawabannya adalah "karena disuruh guru". Mereka juga tampak takut bertanya kepada pemandu yang ada di gerai masing-masing museum. Hanya sebagian kecil yang terlihat berminat pada koleksi dan mencari informasi lewat pemandu.

Yang menjadi sorotan saya adalah penyelenggara dan penyelenggaraan pameran ini. Selama pameran berlangsung panitia menyajikan hiburan dengan organ tunggal. Banyak pelajar yang tertarik untuk menyanyi dan berjoget di pentas selama pameran berlangsung. Suara organ tunggal berikut suara sumbang para penyanyi dadakan dilantangkan dengan keras lewat perangkat sound system entah berkekuatan berapa volt. Peserta pameran mengeluhkan hal ini karena mereka tidak dapat memberikan keterangan kepada para pengunjung akibat gaduh dan kerasnya suara musik. Suara manusia tidak berdaya menghadapi hingar-bingar suara alat musik. Untuk mengimbangi suara musik, para pemandu harus berusaha bicara keras hingga nyaris serak.

Menyelenggarakan permainan organ tunggal dan karaokean mungkin tadinya untuk menarik pengunjung, tetapi akhirnya arahnya jadi tidak tepat lagi jika ini dikaitkan dengan pameran museum. Museum erat kaitannya dengan dunia pendidikan, dan menikmati koleksi ataupun informasi di museum haruslah dalam suasana tenang, bukan dengan suara gaduh dan hingar-bingar seperti di pameran keliling ini. Kegaduhan musik pada waktu itu juga memecah konsentrasi anak-anak yang sedang mendengarkan penjelasan dari pemandu museum. Mereka berhamburan meninggalkan pemandu yang sedang bicara ketika mereka mendengar pemusik memainkan lagu favorit mereka. Yang paling menyedihkan adalah dua museum yang gerainya berhadapan langsung dengan panggung. Pemandu di kedua museum ini sama sekali tidak dapat memberikan penjelasan kepada pengunjung selama musik bermain.

Apakah Museum Sri Baduga selaku penyelenggara tidak mengantisipasi hal ini sebelumnya? Alangkah baiknya jika penyelenggara membuat panggung khusus di luar area gedung pameran agar tidak mengganggu suasana pameran. Selain itu, permainan organ tunggal sebaiknya dijadwal secara terbatas, misalnya dalam sehari dua kali masing-masing satu jam pada pagi hari dan satu jam di sore hari. Jadi tidak sepanjang hari terjadi hingar-bingar musik. Kami pulang dalam keadaan seakan nyaris tuli.

Panggung di area pameran sebaiknya dimanfaatkan untuk hal-hal yang berkaitan atau menunjang pameran. Misalnya diskusi buku, atau talkshow tentang museum dengan guru ataupun pelajar. Panggung bisa juga dimanfaatkan untuk memberikan berbagai pengumuman terkait dengan pameran, termasuk memberikan kuis seperti yang sudah dilakukan selama ini.

Susunan gerai pameran sebaiknya dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menutupi pandangan dari panggung ke pintu masuk.  Di panggung pemain organ tunggal asyik bermain dan penyanyi amatir asyik bernyanyi sambil berjoget. Mereka tidak melihat bagaimana hebohnya siswa yang berdesakan merangsek masuk ke area pameran. Jika tidak ditahan saya yakin banyak siswa yang terinjak-injak oleh kawan sendiri.

Buatlah alur pengunjung agar pengunjung teratur masuk menurut kaidah FIFO (first in first out). Jadikan kualitas pameran sebagai tolok ukur keberhasilkan pameran, BUKAN kuantitasnya. Untuk apa jumlah pengunjung banyak tapi mereka tidak dapat menikmati apa yang tersaji? Banyaknya pengunjung malah akan mengarah pada kecelakaan, jika alur tidak ditata dengan baik.

Banyak hal yang masih harus kita perbaiki. Marilah kita sama-sama melakukan evaluasi dan introspeksi. Tujuan pameran adalah menyebarluaskan informasi kepada masyarakat, dan ini harus menjadi perhatian kita semua selaku insan museum. (Julimar, 5/11/2010).