Berita ini sudah cukup lama namun masih cukup relevan sebagai pengetahuan bagi mereka yang berminat pada dunia permuseuman. Selamat mencermati.
Pemalsuan Arca Terungkap Berkat Kotoran Burung
SOLO - Karena kotoran, dugaan pemalsuan arca perunggu di Museum Radya Pustaka Surakarta (MRPS) terbongkar. Memang, bukan sembarang kotoran yang menempel di arca. Tetapi, kotoran itu sering disebut para arkeolog sebagai patinasi. Yakni, kotoran berwarna hijau yang menempel di arca perungu.
Para arkeolog terhenyak karena kotoran yang menempel di puluhan arca perunggu MRPS adalah patinasi baru. Bukan kotoran lama yang jamak ditemukan pada arca berusia tua.
Hal tersebut diungkapkan D.S. Nugrahani, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta. Dia adalah salah seorang konsultan reinventarisasi koleksi MRPS beberapa waktu lalu.
''Salah satu yang membedakan arca perunggu asli dan palsu adalah adanya patinasi. Biasanya pemalsu juga membuat patinasi. Tetapi, patinasi buatan itu pasti akan kelihatan. Patinasi buatan berbeda dengan yang asli di arca tua. Patinasi di arca kuno pasti tidak merata,'' kata staf pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM itu.
Selain patinasi, hal yang mengungkap arca perunggu palsu di ruang pajang koleksi perunggu MRPS adalah canon. Nugrahani yang juga ahli ikonografi (cabang seni sejarah yang mempelajari identifikasi, deskripsi, dan interpretasi isi gambar atau simbol) mengatakan, canon adalah pakem arca pada setiap masanya. Menurut dia, canon juga bisa diartikan sebagai ketentuan khusus untuk mengidentifikasi arca.
''Jadi ada semacam ketentuan khusus mengenai model, bentuk, dan ciri khusus di arca pada masanya. Misalnya, arca Buddha pada masa abad kesekian harus seperti ini. Atau, arca Siwa harus seperti ini. Hanya ahli atau arkeolog yang mengerti ini,'' lanjut Nugrahani.
Ditanya mengenai masa pembuatan arca-arca perunggu asli yang duplikatnya ditemukan di MRPS, Nugrahani mengatakan bahwa koleksi yang asli dibuat pada abad IV-XVI.
Masih terkait canon, Nugrahani mengatakan bahwa pemalsu arca bisa saja menggunakan teknik tertentu untuk menyempurnakan duplikasi arca asli. Dengan mata telanjang, hasilnya pasti akan sulit dibedakan antara arca asli dan arca palsu.
''Tetapi, tetap saja bisa dilacak kepalsuannya. Tentu dengan teknik tertentu pula. Misalnya, memeriksa logamnya di laboratorium. Dengan langkah itu, terdeteksi usia logamnya,'' lanjutnya.
Soal asal arca perunggu palsu di MRPS, Nugrahani kemarin mengatakan belum mengetahui perajin mana yang membuat arca itu. Dia belum menelisik asal arca lebih jauh setelah mengikuti inventarisasi. Lagi pula, kata dia, bukan perkara mudah untuk melacak perajin arca tersebut.
''Setahu saya sih di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, ada banyak perajin arca perunggu. Tapi, apakah arca itu dari sana, saya tidak tahu. Kalau di Jawa Tengah, saya belum tahu adakah perajin perunggunya,'' katanya.
Meski belum mengetahui asal arca perunggu palsu itu, Nugrahani meyakini bahwa arca-arca palsu di MRPS tidak dibuat oleh satu perajin saja. Tapi, ada beberapa perajin arca perunggu. Dia mendasari keyakinannya itu dengan fakta bahwa di MRPS terdapat perbedaan tipe setiap arca palsu tersebut.
Dia mengaku prihatin ketika ditanya mengenai pemalsuan arca perunggu di MRPS. Sebagai arkeolog, dia merasa memiliki ikatan batin dengan arca-arca itu. Sebab, arca-arca tersebut adalah bahan kajian ilmiah yang sangat berarti. Karena itu, dia berharap agar semua pihak dapat berperan aktif melacak arca perunggu asli dan mengembalikan ke MRPS.
Dengan demikian, kata dia, arca-arca penuh sejarah itu bisa segera digunakan untuk bahan kajian ilmiah. Lantas, apakah Nugrahani juga bersedia membantu jika polisi memerlukan keterangan atas keahliannya?
''Ya, kalau memang diperlukan, saya akan membantu. Itu hal yang wajib bagi akademisi seperti saya. Sebenarnya ada beberapa teman di beberapa museum di Indonesia dan luar negeri yang menawarkan bantuan untuk melacak arca perunggu itu,'' tuturnya.
Seperti diberitakan, di antara 249 koleksi beragam kriya perunggu di MRPS, 85 buah berbentuk arca. Sayang, 52 arca di antaranya dinyatakan palsu dan diduga palsu oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah setelah reinventarisasi museum.(aw/den/jpnn/nw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar