Sabtu, 25 Juni 2011

Museum Sutera

Sumber: www.metagini.com

Kalau negeri Cina memiliki museum sutera rasanya tidak aneh karena orang Cinalah yang pertama kali menemukan sutera dan membudidayakan ulat sutera. Lebanon ternyata memiliki museum sutera. Di sini diceritakan pula riwayat datangnya sutera ke Timur Tengah. Silakan dilihat di sini.


Salah satu koleksi Silk Museum (Lebanon). Sumber: www.thesilkmuseum.com

Selasa, 14 Juni 2011

Peragaan baru di Museum Geologi

Museum Geologi memiliki wahana baru berupa peragaan di luar ruangan (outdorr exhibition). Wahana ini bernama Taman Siklus Batuan. Di sini pengunjung dapat mempelajari proses terbentuknya batuan dan jenis-jenis batuan yang ada di Bumi. Selain sebagai sarana untuk belajar, taman ini juga dapat digunakan oleh pengunjung untuk melepas lelah sejenak setelah berkeliling di dalam Museum Geologi. Fungsi lain taman ini adalah sebagai pemecah kepadatan pengunjung di dalam ruangan.

Taman Siklus Batuan (Foto: Mirza)
Taman Siklus Batuan diresmikan dan dibuka oleh Kepala Badan Geologi, R. Sukhyar, pada hari Minggu tanggal 15 Mei 2011 bertepatan dengan pemubukaan pameran khusus dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Museum Geologi ke-82 (16 Mei 2011).

Kepala Badan Geologi dalam peresmian Taman Siklus Batuan (Foto: Lutfi)

Senin, 06 Juni 2011

Museum dan Pendidikan (lagi!)

Wisata Edukasi di Museum

Oleh: Wanda Listiani


Museum sebagai pilihan wisata edukasi belum banyak dilakukan oleh masyarakat kita. Padahal koleksi museum menyimpan budaya masa lalu dan diperuntukkan bagi generasi mendatang sebagai pembelajaran. Museum menjadi media bagi pengunjung untuk mencari inspirasi, memahami dan hiburan di waktu luang.

Museum tidak hanya mengoleksi budaya material dan sejarah sosial keseharian tapi juga termasuk mengoleksi perilaku manusia. Museum sebagai tempat sebuah koleksi dan sebagai wilayah reposisi dimana proses berjalannya negosiasi tentang makna dan nilai budaya masyarakat tertentu. Museum mendefinisikan identitas dan latar budaya lewat koleksi yang ada didalamnya. Perkembangan evolusi manusia, sejarah tulisan, lapisan batu mulia, berbagai rumah adat dan perlengkapan upacara serta pengetahuan yang pernah hidup di masa lalu dapat dijumpai dalam museum. Tak heran kalau benda-benda bersejarah menjadi sasaran oknum tertentu untuk diperjualbelikan karena nilai ekonominya yang sangat tinggi.

Bandung menawarkan berbagai pilihan wisata edukasi seperti museum Sri Baduga, museum Barli, museum Geologi, museum Pos Indonesia, museum Konferensi Asia Afrika. Keunikan museum dengan berbagai ukuran dan koleksinya memberikan variasi pengetahuan bagi pengunjung. Kunjungan museum tergantung pada ketertarikan dan antusias pengunjung. Museum menyimpan, mengumpulkan dan memberikan akses budaya masalalu kepada masyarakat melalui koleksi. Peran museum bagi masyarakat, pertama, sebagai tempat rekreasi belajar. Kedua, rekonstruksi masa lalu. Ketiga, sebagai bukti material sebuah kearifan lokal.

Pendidikan informal dalam museum distrukturisasi melalui gerakan dalam ruang. Tata ruang dalam museum membentuk cara dimana pengunjung menggali pengetahuan, terlibat dan memahami koleksi. Hal ini ditunjukkan dengan pola perilaku yang tersistematis berhubungan dengan karakteristik akses ruang dan jarak penglihatan. Penataan koleksi juga mempengaruhi pola akses pengunjung di dalam melihat koleksi secara berurutan sesuai dengan periodesasi maupun tema koleksi yang ada di museum.

Karakter unik pendidikan informal dalam museum merupakan pesan pendidikan yang dikonstruksi melalui gerakan dalam ruang. Cara pengunjung mengakses museum tergantung pada sistem tanda atau petunjuk. Pola kemudahan akses melalui ruang pameran, koneksi dan elemen pameran membentuk persepsi dan pemahaman pengunjung. Begitu pula dengan bentuk ruang, tata ruang bangunan, penempatan elemen pameran dalam layout, atau struktur ruang yang tersedia, berdampak pada gerakan, kontak visual dan keterlibatan aktif pengunjung.

Museum Geologi misalnya, memberikan pengalaman yang unik kepada pengunjung. Pemanfaatan penggunaan imajinasi pengunjung untuk merangsang kepekaan dan rasa pada cerita sejarah masalalu. Museum Geologi tidak hanya sebuah tempat artefak naratif atas pengembangan peradaban modern. Namun juga sebagai teknologi produksi atas perbedaan sosial, politik dan budaya masyarakat yang telah punah. Berbagai perbedaan ini kemudian direkonstruksi kembali mendekati bentuk yang nyata seperti aslinya dalam sebuah replika. Replika binatang purba, replika busana, replika rumah adat dan tempat tinggal, replika batu mulia, replika karya seni, replika senjata dan peralatan rumah tangga dan lain sebagainya.

Museum melakukan pengembangan dan desain ulang kehidupan dan peradaban masa lalu lewat pameran, alih pengetahuan dan pertukaran koleksi serta sumber daya ke berbagai wilayah. Dari keempat medium ini diharapkan pengunjung mendapat nilai pembelajaran baik pemahaman ideologi, tradisi dan budaya untuk memahami konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Begitu pula dengan pengetahuan kearifan lokal yang tersimpan dalam museum Sri Baduga Bandung. Berbagai motif batik, teknik pewarnaan dan penggunaannya yang dianggap kuno mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Nilai yang tidak begitu saja tumbuh tapi sarat dengan pembelajaran dan pengetahuan tentang alam. Kearifan lokal menjadi alternatif pencegahan bencana yang terjadi karena kerusakan alam dan lingkungan akibat ulah manusia. Idiom pamali misalnya dikenal sejak lama dalam masyarakat Sunda, untuk memberi peringatan, penghidupan dan pemeliharaan tentang cara-cara memperlakukan sumber mata air. Begitupula dengan penggunaan warna alam dari tumbuhan dan rempah-rempah pada proses pewarnaan batik.

Pengembangan kota Bandung sebagai kota wisata museum tidak hanya terbatas pada ruang namun tempat bersejarah. Hal ini dibuktikan dengan adanya museum-museum bertumbuh yang tersimpan dalam bangunan bersejarah di sepanjang jalan Braga dan jalan Dago. Bangunan yang memberikan tanda bahwa pertama, perlu kebijakan tata ruang tempat-tempat bersejarah dan pemeliharaan ruang publik. Kedua, sosialiasi dan publikasi koleksi museum pada masyarakat secara berkala. Ketiga, pameran koleksi di pusat perbelanjaan dan ruang publik kota Bandung. Keempat, pengenalan museum sejak dini pada siswa sekolah dasar dan menengah dalam kurikulum pendidikan di Jawa Barat. Semoga keempat resolusi museum pada tahun 2011 ini membawa sejarah baru dalam permuseuman bertumbuh Kota Bandung.

Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/24/wisata-edukasi-di-museum/

Minggu, 05 Juni 2011

Museum dan Pendidikan

Ada lagi tulisan tentang kaitan museum dengan pendidikan. Tulisan ini didapat ketika saya sedang berselancar. Saya membaginya untuk Anda, untuk menambah wawasan dan untuk semakin meyakinkan khalayak umum bahwa fungsi dan peran pendidikan  merupakan hal yang inheren dalam sebuah museum.

MUSEUM DAN PENDIDIKAN
Oleh: Prioyulianto Hutomo

Museum
Akhir-akhir ini di tanah air kita, terutama setelah era sentralisasi berakhir dan digantikan dengan era desentralisasi, muncul gejala meningkatnya minat sebagian masyarakat dan pemerintah daerah untuk mendirikan museum. "Semangat" ini, di satu sisi, sangat menggembirakan terutama menambah jumlah museum yang ada. Namun di sisi lain, semangat mendirikan museum, secara umum, tidak dilandasi oleh pengertian bahwa mendirikan sebuah museum berarti "mendirikan" pula sebuah institusi pendidikan. Museum dan pendidikan sama dengan dua sisi mata uang, tidak dapat dipisahkan.
Museum dan pendidikan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan tercermin  dalam berbagai definisi museum sebagai salah satu tujuan:
1. A building to house collections of objects for inspections, study, and enjoyment. (Douglas A. Allen);
2. ....any permanent institution which conserves and displays for purposes of study, education, and enjoyment collections of objects of cultural or scientific significance (International Council of Museums);
3. A permanent, educational, non profit institution with catalogued collections in art, science, or history, with exhibitions open to the public (G.E. Burcaw);
4. A permanent, public, educational institution which cares for collections system-atically (definisi G.E. Burcaw yang lebih singkat);
5. "Museums of whatever kind all have the same task--to study, preserve, and exhibit objects of cultural value for the good of the community as a whole (UNESCO).
Berbagai definisi di atas, sangat jelas menyiratkan bahwa terdapat nilai dasar yang menjadi fondasi museum yaitu, melalui pendidikan, masyarakat disadarkan akan tingginya nilai yang dikandung dalam koleksi museum dan memberi mereka kesempatan untuk memperluas wawasan.
Namun, seperti telah dikemukakan terdahulu, kesadaran para pengelola museum berkaitan dengan kenyataan bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari sebuah museum masih sangat kurang. Para pengelola  masih  banyak  yang berorientasi untuk mencapai beberapa tujuan museum, seperti yang tercantum dalam definisi, secara bersamaan dengan menggunakan sebagian besar sumber daya yang dimiliki. Tujuan atau tugas pendidikan yang sangat penting, yang diemban oleh museum, belum menjadi prioritas. Orientasi ini perlu diubah. Pendidikan untuk segala usia perlu digalakkan dengan sasaran utamanya adalah siswa sekolah.
Saat ini peluang guna mendukung perubahan strategi itu telah tersedia. Pemerintah telah mencanangkan dua puluh persen dari jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk sektor pendidikan--termasuk pendidikan di luar sekolah. Pertanyaannya, siapkah museum memanfaatkan peluang ini guna meningkatkan fungsi pendidikannya melalui penciptaan kegiatan-kegiatan edukasi (educational programs)?
Pendidikan
Kegiatan-kegiatan edukasi di museum, secara umum, diperuntukkan bagi anak-anak termasuk siswa sekolah (children and museum education) dan masyarakat umum atau yang dikenal dengan istilah adult learning in museums (Alberta Museums Association, 1990). Dua sasaran umum ini, terutama kegiatan yang disebut pertama, masih dapat dibagi-bagi lagi, misalnya berdasarkan jenjang pendidikan siswa (SD, SMP, SMU).
Bentuk-bentuk aktivitasnya pun bermacam-macam. Siswa sekolah akan mendapatkan paket edukasi (teaching kit); koleksi keliling (traveling study collections); kelas budaya (cultural class); bercerita (story telling); slide berseri (slides series); taman bermain yang berhubungan dengan koleksi (collections playground); atau aktivitas khusus untuk para guru (educators program). Sedangkan untuk  masyarakat umum  dapat berupa aktivitas yang diperuntukkan bagi keluarga (family workshop atau family day); bagi perorangan maupun kelompok (community workshop atau open house). Atau bagi kedua segmen di atas, museum dapat membentuk suatu komunitas bagi penggemar museum, misalnya himpunan pencinta museum.
Setiap museum dapat membuat aktivitas-aktivitas yang mendidik seperti contoh di atas. Tetapi sebaiknya dimulai dahulu untuk satu sasaran, misalnya siswa sekolah dasar, sehingga lebih terfokus. Materi perlu dirancang sebaik mungkin dan diarahkan untuk mengembangkan tiga area pembelajaran secara bersamaan: kognitif, berkaitan dengan daya pikir; afektif, berhubungan dengan emosi; dan psikomotorik, berhubungan dengan gerakan fisik.
Desain materi harus berupa aktivitas yang menumbuhkan rasa ingin tahu; dengan kata lain, materi yang diberikan dapat mengarahkan siswa untuk bertanya, mencari jawaban atas pertanyaannya, dan menciptakan pertanyaan baru (Allison G. and Sue McCoy, 1985: 60-70) serta memperoleh pengetahuan baru. Aktivitas tersebut selayaknya dilakukan tanpa meninggalkan unsur bermain. Patut diingat bahwa dunia anak-anak adalah dunia bermain.
Menurut para pakar pendidikan, bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang demi kesenangan (Piaget, 1951) dan sasaran lain yang ingin dicapai; bermain merupakan "tali" yang merupakan untaian serat dan benang-benang yang terjalin menjadi satu. Menurut Hughes (1999) belajar dan bekerja merupakan hal yang berbeda dari bermain. Bermain, harus mempunyai tujuan, tidak ada unsur paksaan, menyenangkan, mengembangkan imajinasi, dan dilakukan dengan aktif.
Melalui permainan (play and games), diharapkan anak akan memperoleh beberapa manfaat, di antaranya bermasyarakat, mengenal diri sendiri, imajinasi dapat bertumbuh, menahan gejolak emosi, memperoleh kegembiraan, dan belajar taat pada aturan (Zulkifli, 2001; Andang Ismail, 2006). Dengan demikian bentuk-bentuk aktivitas bagi siswa haruslah berbentuk permainan edukatif. Permainan edukatif (Andang Ismail, 2006) adalah suatu kegiatan yang menyenangkan dan dapat merupakan cara yang mendidik. Permainan edukatif dapat meningkatkan kemampuan berfikir, berbahasa, serta bergaul dengan orang lain. Selain itu, anak dapat menguatkan anggota badan, menjadi lebih terampil, dan menumbuhkan serta mengembangkan kepribadiannya.
Permainan edukatif dapat dirancang oleh para pengelola museum. Program edukatif dapat dipilih dari salah satu contoh yang telah disebutkan terdahulu (paket edukasi, bercerita, membuat slide berseri, dan sebagainya).
Dalam merancang program-program edukasi, pengelola museum perlu melibatkan para ahli pendidikan, guru-guru, ahli psikologi anak, bahkan orang tua siswa. Dengan keterlibatan mereka, diharapkan dapat diciptakan aktivitas edukasi di museum yang sesuai dengan jenjang pendidikan siswa dan sesuai dengan tingkatan perkembangannya.
Kesimpulan
Museum dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Definisi tentang museum selalu mencantumkan pendidikan (juga penelitian) sebagai salah satu tujuan atau misi yang diemban oleh sebuah museum.
Jumlah museum yang semakin bertambah (saat ini kira-kira berjumlah 228 museum) tidak dibarengi dengan kesadaran para pengelola museum bahwa pendidikan merupakan misi yang penting. Sehingga, masih banyak museum yang belum memiliki program-program pendidikan yang terarah. Contoh program edukasi di museum, terutama di museum-museum di luar negeri dapat dijadikan ide; atau bahkan ditiru dengan catatan disesuaikan dengan kondisi di tanah air. Selain itu, keterlibatan para pakar pendidikan dan guru merupakan keharusan.

Referensi
  • Alberta Museums Association. 1990. Standard Practices Handbook for Museums. Edmonton: Canada.
  • Burcaw, G. Ellis. 1983. Introduction to Museum Work. Nashville: AASLH.
  • Grinder, Alison and E. sue McCoy. 1985. The Good Guide. Scottsdale: Ironwood.
  • Hughes. 1999. Children, Play, and Development. New York: Wiley & Sons.
  • Ismail, Andang. 2006. Education Games. Yogyakarta: Pilar Media.
  • Mudyahardjo, Redja. 2006. Pengantar Pendidikan: Studi Awal tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada
  • Zulkifli. 2001. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosda Karya.