Rabu, 23 November 2011

Bus Pameran di Pameran Keliling Bersama

Tampak luar bus  (Foto oleh Julimar)
Memiliki sarana untuk pameran berjalan sudah lama menjadi dambaan Museum Geologi. Maka ketika kesempatan untuk mengadakan bus dimaksud tiba, disusunlah rancangan interior maupun eksterior bus itu. Ketika akhirnya bus itu tiba di pelataran parkir Museum Geologi kami semua terperangah heran melihat kondisi bus tidak seperti yang dibayangkan karena tidak sesuai dengan rancangan semula. Lepas dari itu semua, bus itu untuk pertama kalinya digunakan berpameran pada Pameran Keliling Bersama di Subang pada pertengahan November yang lalu.

Pada pameran tersebut bus digunakan untuk memamerkan contoh-contoh batuan dan mineral serta memajang beberaoa poster, termasuk poster tentang perkembangan geologi kepulauan Indonesia. Selain itu disajikan pula berbagai film dokumenter terkait peristiwa dan fenomena geologi di Tanah Air. Untuk kenyamanan pengunjung kami menerapkan sistem buka-tutup kepada mereka yang ingin memasuki bus. Pengunjung dipersilakan masuk dari pintu depan dan keluar dari pintu belakang. dengan cara FIFO (first in first out). Pengunjung yang belum mendapat giliran masuk dapat menonton film di luar bus. Selain dalam rangka uji coba, pemanfaatan bus sebenarnya juga untuk menyiasati terbatasnya area pameran di dalam gedung.

Antrean pengunjung bus (Foto oleh Julimar)
Pada mulanya kami merasa waswas jangan-jangan panitia tidak menginzinkan bus kami nongkrong di pelataran parkir area pameran tetapi kami malah mendapat tempat tepat di pintu gerbang menuju gedung pameran. Lokasi ini strategis sekali karena mau tidak mau mereka yang akan masuk gedung pameran harus melewati bus kami. Lama-lama pengunjung yang ingin masuk bus menyemut menghalangi jalan masuk menuju gedung. Bahkan para pedagang di sekitar arena pameran turut pula menonton film yang diputar di bus.

Yah, meskipun bus ini tidak sesuai bayangan semula, penampilannya di ajang Pameran Keliling Bersama ternyata mengundang banyak perhatian dan pertanyaan dari peserta pameran. Saya sendiri sebenarnya mengangankan  trailer seperti milik National  World War I Museum (lihat gambar di bawah ini).

Sumber gambar www.unchained.com


Gambar di atas adalah trailer yang dirancang khusus untuk pameran berjalan. Melalui trailer ini National  World War I Museum menyebarluarkan informasi tentang perang kepada masyarakat Amerika. Tampilan luar trailer ini begitu meyakinkan dan membuat saya iri: kapan kita bisa memiliki sarana pameran sekelas itu?

Selasa, 22 November 2011

Siron

Hanya ini penanda makam (Foto: Julimar)
Siron adalah sebuah kampung yang terletak di Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Saya berkunjung ke kampung ini awal November lalu bersamaan dengan kunjungan ke Museum Tsunami Aceh. Di sini dikuburkan sekitar 46.000 jiwa rakyat Aceh korban tsunami tahun 2004 lalu. Mereka dikuburkan secara massal. Tidak ada penanda yang mana makam siapa. Kerabat yang berziarah di sini tentunya tidak dapat secara khusus berdoa di nisan tertentu. Tidak ada gundukan tanah sebagaimana lazimnya makam. Suasana sangat hening. Secara pribadi saya sangat tersentuh dengan keberadaan makam sederhana ini. 
Kesederhaan yang rumit (Foto: Julimar)
Kesederhanaannya begitu menyakitkan dan mengharukan. Entah kata apa yang paling tepat. Rasanya rumit menggambarkan kesederhanaan di sini. Memilukan, mungkin. Ketika hati mendesahkan salam kepada ahli kubur, tak terasa butir-butir  hangat air mata membasahi pipi. Yang jelas hati saya lebih tersentuh ketika berada di sini dibandingkan dengan di Museum Tsunami Aceh yang megah itu. Padahal Museum Tsunami Aceh konon dibangun untuk mengenang para korban tsunami, namun saya tidak merasakan greget itu. Di sini saya mendapat pelajaran berharga bahwa untuk membangkitkan empati kita tidak harus menggunakan sarana mewah dan megah. Hal-hal sederhana dapat jauh lebih dalam menyentuh kalbu. Hal-hal kecil namun dipelihara dengan penuh kasih sayang akan menghasilkan dampak positif lebih besar dibandingkan dengan proyek mercu suar yang gaungnya hanya sesaat. Di sini saya mendapat pelajaran bahwa kita kelak akan kembali dalam kesederhanaan pula.........

Museum Corpus

Corpus Museum (sumber: Wikipedia)
Satu lagi museum unik dan hanya satu-satunya di dunia. Salah satu sisi bangunannya berupa siluet tubuh manusia. Dengan mengusung semboyan "journey to the human body" museum ini memberikan pengalaman edukatif sekaligus menghibur kepada pengunjungnya. Museum ini terletak di Belanda dan diresmikan pada tahun 2008. Sesuai dengan namanya (corpus berasal dari Bahasa Latin yang artinya jasad) museum ini mengajak pengunjungnya untuk menjelajahi tubuh manusia dan mengenali setiap proses yang terjadi di dalamnya. Di sini kita akan mengetahui bagaimana peran makanan sehat, hidup sehat, dan olah raga bagi kesehatan tubuh secara keseluruhan. 

Untuk lebih lengkapnya silakan kunjungi situs resminya di sini.Untuk foto-foto menarik tentang museum ini silakan klik di sini.

Rabu, 16 November 2011

Pameran Keliling Bersama: Subang 2011

Akhirnya, setelah menanti penuh rasa ingin tahu, konsep baru Pameran Keliling Bersama yang digagas Museum Negeri Sri Baduga pun terwujud. Untuk pertama kalinya penyelenggara menggunakan jasa konsultan yang, katanya, sudah berpengalaman menyelenggarakan berbagai pameran di dalam dan luar negeri. Konsep yang ditawarkan sungguh menarik dan foto-foto yang ditampilkan cukup menawan hati. Tampilan pameran kali ini sungguh sangat berbeda dengan pameran-pameran sebelumnya (lihat di sini)

Foto 1 (oleh Julimar)

Dengan konsep tata pameran minimalis, koleksi yang ditampilkan sangat terbatas namun menjadi simbol bagi citra setiap museum secara keseluruhan. Area pameran terlihat “bersih” namun “dingin” dan angkuh. Tidak terasa lagi kesemarakan yang biasa terjadi di setiap ajang Pameran Keliling Bersama. Apalagi warna dasar yang digunakan oleh konsultan cenderung monokrom dengan warna utama abu-abu (diterapkan pada karpet dan stage untuk koleksi). Warna panel pun berupa warna alamiah yang berasal dari bambu yang disusun tanpa polesan apapun. Di sini kreativitas peserta pameran ditantang agar dapat “memunculkan” koleksi masing-masing.

Alur pengunjung, penunjuk arah, dan sound system

Ada beberapa hal penting yang luput dari perhatian pihak konsultan, yaitu alur pengunjung, penunjuk arah, dan sound system. Dengan rancangan tata pameran seperti ini (lihat Foto 1) seharusnya pihak konsultan  mengatur alur pengunjung apakah pengunjung akan diarahkan sesuai arah jarum jam ataukah sebaliknya. Tanda penunjuk arah yang sudah dibuat tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya melainkan hanya disimpan di selasar samping (lihat Foto 2). Salah seorang peserta akhirnya berinisiatif memasang tanda MASUK di pintu masuk dan tanda KELUAR di pintu keluar di dekat panggung. Namun ternyata hal itu tidak efektif karena tata pameran tidak mendukung pengaturan alur tersebut. Seharusnya jika pintu masuk dari arah selatan dan alur pengunjung searah jarum jam maka pintu keluar berada di lokasi yang ditempati oleh gerai Museum Basoeki Abdullah. Dengan demikian lokasi pertama yang dikunjungi adalah gerai Museum Geologi. Jika alur pengunjung berlawanan dengan arah jarum jam maka yang terjadi adalah sebaliknya. 

Foto 2 (oleh Julimar)
 Penempatan pintu keluar di dekat panggung benar-benar tidak masuk akal karena pengunjung yang telah mengamati sisi kiri pameran akan luput mengamati sisi kanan, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian mereka cenderung memutar untuk mengamati gerai di sisi yang berlawanan dan keluar melalui pintu masuk. Untungnya pengunjung pameran ini tidak membludak seperti halnya di Karawang atau Ciamis, jadi keluar masuk dari pintu yang sama masih cukup aman.

Akibat tidak adanya alur ini ketika Bupati Subang dan jajarannya meninjau pameran pada acara pembukaan maka pemandu Museum Sri Baduga mengarahkan beliau ke tengah, tempat koleksi andalan Sri Baduga terpajang sebagai titik perhatian utama. Ini betul-betul menimbulkan tanda tanya dan ketidaknyamanan kepada peserta lain. Hal seperti ini seyogyanya tidak perlu terjadi jika alur pengunjung ditentukan sebelumnya.

Hal lain yang mengganggu adalah penempatan pengeras suara di dalam area pameran (hal ini sudah dibahas dalam posting sebelumnya). Sound system yang terpasang digunakan untuk hiburan (menyanyi) dan ini sangat mengganggu suasana di dalam karena pemandu museum tidak dapat memberikan keterangan kepada pengunjung (suara mereka kalah oleh suara sang penyanyi yang ternyata tidak sekedar menyanyi). Gerai Museum Geologi terkena langsung dampaknya karena pengeras suara ditempatkan tepat di sudut lokasi gerai.

Ternyata tidak mudah menyederhanakan sesuatu. Apa yang dari luar tampak sederhana biasanya telah melalui proses pemikiran rumit dan mendalam. Pameran kali ini membuktikan hal tersebut. Kesederhanaan yang tidak melalui pemikiran mendalam akan terkesan asal jadi. Konsep pameran seharusnya digodok matang secara menyeluruh, tidak parsial seperti ini. Namun demikian, saya tetap memberikan penghargaan kepada penyelenggara dan pihak konsultan atas keberanian mereka menawarkan konsep segar dalam berpameran. Mudah-mudahan ke depan akan lebih baik lagi.

Minggu, 13 November 2011

Museum Tsunami Aceh: Kaya Nuansa, Miskin Makna

Foto: Julimar

Sudah lama ingin berkunjung ke museum ini. Akhirnya kesempatan itu datang di awal November lalu. Selama ini saya hanya melihat gambar bangunan museum di internet, atau foto kiriman kawan yang pernah berkunjung ke sana.

Pertama kali menatap gedungnya saya sangat terkesan. Megah. Masif. Tampilan luar kaya akan nuansa budaya Aceh, mulai struktur bangunan hingga ornamennya. Museum ini terletak di pusat kota, tidak begitu jauh dari Masjid Raya Baiturrahman. Dari maket yang terdapat di dalam museum, tampak bahwa museum ini mengambil bentuk perahu. Saya tidak akan berpanjang-panjang tentang arsitektur gedung. Yang menjadi perhatian utama saya adalah isi museum ini. Lebih tepat lagi kesan yang ingin dibangun dan pesan yang ingin disampaikan.

Ruang yang pertama dimasuki pengunjung adalah sebuah lorong gelap yang diapit oleh dinding berair yang --menurut pemandu-- menampilkan kesan tsunami. Di sini diharapkan pengunjung dapat merasakan kedahsyatan tsunami. Sayang ketika saya datang, simulasi tsunami ini sedang tidak difungsikan. Saya hanya berjalan di lantai basah bekas cipratan tsunami buatan itu. Kemudian saya dibawa ke ruangan (Memorial Hall) yang menayangkan foto-foto pasca tsunami. Foto-foto ini ditampilkan dalam bentuk slide melalui perangkat komputer yang disimpan dalam sebuah "tugu" masif yang kaku. Tidak ada keterangan apapun, selain tayangan itu. Ruangan-ruangan berikutnya membuat saya semakin kebingungan. Sebagian besar isi museum ini adalah foto-foto kejadian tsunami dan foto-foto Banda Aceh sebelum dan sesudah tsunami. Ada juga maket kejadian tsunami dan bangunan-bangunan yang roboh akibat gempa tanggal 26 Desember 2004 itu. Ada juga beberapa benda yang rusak akibat tsunami serta simulasi gempa. Secara keseluruhan museum ini "kosong".

Isi museum tidak sebanding dengan kemegahan gedungnya. Saya tidak melihat adanya alur cerita yang utuh tentang tsunami. Apa yang ingin ditonjolkan tidak jelas. Museum ini menyandang nama "tsunami" tetapi tidak tergali di dalam isi apa yang ingin disampaikan dari "tsunami" ini. Saya khawatir informasi yang ada dalam isi gedung malah menjadi "tsunami" bagi pengetahuan masyarakat. Apa yang ingin disampaikan? Pengetahuan tentang tsunamikah? Sebuah tanda untuk mengenang korban tsunamikah? Atau sekedar proyek ambisius belaka? Beribu tanya menekan dada.....

Dalam salah satu definisi museum fungsi museum adalah '........ collects, documents, preserves, exhibits and interprets material evidence and associated information for the public benefit'. Mengamati Museum Tsunami Aceh saya menyimpulkan bahwa museum ini hanya mengumpulkan dan memperagakan (collects and exhibits), fungsi pemeliharaan, pendokumentasian, apalagi melakukan interpretasi sama sekali belum terlihat. Apa yang disajikan di sebuah museum seharusnya tidak telanjang apa adanya, melainkan harus sudah melalui proses interpretasi oleh para kuratornya. Freeman Tilden, yang pertama kali membahas interpretasi dalam konteks museum mendefinisikan interpretasi sebagai "an educational activity which aims to reveal meanings and relationships through the use of original objects by first-hand experience, and by illustrative media, rather than simply to communicate factual information."

Mueum Tsunami baru menyajikan factual information. Sepertinya museum ini harus ditata ulang secara menyeluruh dari segi pemaknaan koleksi. Hm...dibutuhkan orang-orang idealis yang berdedikasi untuk mewujudkan kerja besar ini. Anggaran besar tidak akan berbicara banyak jika tidak ada sentuhan nurani dalam mengerjakan sebuah proyek besar.

Rabu, 02 November 2011

Pameran Keliling Bersama

Tak terasa setahun berlalu sejak Pameran Keliling Bersama terakhir di Karawang. Pameran tahun ini akan diselenggarakan di Kabupaten Subang mulai tanggal 9-12 November 2011. Pameran kali ini tampaknya akan berbeda dengan pamera-pameran sebelumnya karena panitia penyelenggara menyewa jasa konsultan untuk penataan pameran secara keseluruhan. Konsep pameran kali ini mengusung tema minimalis sehingga museum peserta pameran diharapkan hanya membawa koleksi dalam jumlah minimal dan menampilkannya sebagai simbol. Melihat konsep ini saya senang sekali karena selama ini jika berpameran para peserta cenderung ingin memamerkan sebanyak mungkin koleksi miliknya sehingga arena pameran terkesan sesak. Minimalnya jumlah koleksi yang harus dipamerkan sempat membuat peserta kebingungan karena mereka harus menata ulang konsep pameran sesuai dengan tata pameran baru ini. Pemilihan dan pemilahan koleksi tentu harus sangat hati-hati dan dipertimbangkan masak-masak.

Jika rancangan minimalis ini terwujud, maka akan menjadi sesuatu yang menyegarkan bagi dunia permuseuman di Tanah Air, khususnya di Jawa Barat. Sang konsultan tampaknya ingin membangun citra museum di mata masyarakat, dan ini patut dihargai. Saya sudah tidak sabar ingin segera melihat bagaimana jadinya nanti. Kita tunggu saja!