Kamis, 20 Oktober 2011

Museum Kabupaten Subang

Tanggal 10 Oktober yang lalu saya berkunjung ke Museum Kabupaten Subang. Ruangan museum menempati sayap kanan gedung tua peninggalan zaman kolonial Belanda. Dahulu gedung ini bernama Societet (sekarang Wisma Karya) dan berfungsi sebagai tempat kumpul-kumpul pejabat dan pengusaha Belanda kala itu. Gedung ini masih megah, namun sayang tidak terawat. Di luar bangunan terserak sampah, dan hidung kita disergap bau pesing yang menyengat. Padahal di dalam bangunan terdapat kantor pemerintah. Selasar gedung digunakan sebagai track Tamiya, konon yang terpanjang di kota ini.
 
Tampak luar gedung Wisma Karya (foto: Julimar)

Track Tamiya di selasar (foto: Julimar)

Sampah & bau pesing di sebuah sudut (foto: Julimar)
 

Ketika masuk ke dalam museum saya disambut patung diri Peter Willem Hofland, seorang pengusaha perkebunan dan saudagar kopi yang menjadi tuan tanah di daerah Subang pada sekitar abad ke-19. Dia adalah pemilik perkebunan kopi Pamanoekan & Tjiasemlanden (P & T). Patung diri Peter Willem Hofland ini dahulunya terdapat di perkebunan miliknya tersebut. 
Patung P.W. Hofland di pintu masuk (foto: Julimar)

Patung P.W. Hofland sekitar tahun 1920-1935 (foto: Tropenmuseum)
 
Keterangan di atas saya dapatkan setelah berselancar di dunia maya. Petugas museum tidak dapat memberikan keterangan semestinya mengenai patung ini. Kekecewaan saya kepada petugas semakin bertambah ketika yang bersangkutan tidak mampu menjawab keingintahuan saya tentang riwayat koleksi yang ada di museum itu. Padahal koleksi museum ini cukup menarik dan bersejarah. Namun koleksi yang menarik akan “berbicara” jika diberi keterangan yang informatif. Label koleksi terkesan dibuat seadanya dan petugas tidak mampu melengkapi keterbatasan yang ada pada label.
 


Sebagian koleks museum (foto: Julimar)

Secara umum, tampaknya museum ini ingin menyajikan sejarah Subang. Namun hal itu tidak tergambar pada alur cerita yang dibangun (alur cerita malah tidak terbangun). Benda koleksi yang ada terkesan sekedar ditampilkan dan dipamerkan tanpa diberi interpretasi apapun. Sayang, sungguh sayang. Sebagai sebuah museum milik pemerintah seyogyanya Museum Kabupaten Subang ini mampu menampilkan citra yang ingin dibangun akan sebuah kota. 

Ruang pameran yang tak terawat (foto: Julimar)

Lemari koleksi yang menyedihkan (foto: Julimar)

Rabu, 19 Oktober 2011

Museum dan Mal

Terobosan dilakukan oleh Museum Negeri Jawa Barat Sri Baduga dengan berpameran di mal Bandung Indah Plaza mulai tanggal 11 – 16 Oktober 2011. Butuh waktu cukup lama tampaknya agar pameran ini dapat terwujud (wacana museum goes to mall sudah cukup lama dilontarkan). Ketika akhirnya wacana itu mengejawantah maka publik pun menanggapinya dengan antusias. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika berkunjung ke pameran tersebut. Aneka artefak berbahan dasar bambu menjadi pemandangan yang khas di BIP selama lima hari pameran tersebut. Sayangnya ruang pamer tampak terbatas (dibatasi?) sehingga kesan sempit sangat terasa. Namun demikian, hal itu tidak menjadikan penampilan aneka perkakas bambu tersebut berkurang nilai artistiknya di tengah-tengah aneka benda impor modern yang kontras dengan sisi tradisional bambu. Penyelenggara pameran bertindak cerdas dengan menampilkan gambar toong sebagai titik pusat penarik perhatian pengunjung. Benda ini sebenarnya semacam  bioskop yang untuk menontonnya orang harus noong (b. Sunda, mengintip). Zaman dahulu perkakas ini merupakan alat untuk mendongeng, dan pendongeng biasanya keliling keluar masuk kampung. Di dalam perangkat ini ada serangkaian gambar dan sang pendongeng berada di luar perangkat. Dia bercerita berdasarkan gambar yang ada di dalam dengan diiringi akordeon. Tentu saja pada pameran ini sang pendongeng tidak disertakan karena zaman sekarang sudah tidak ada pendongeng semacam ini. Pengunjung hanya dapat menikmati aneka gambar hitam putih yang ada di dalam perangkat tersebut.
 
Berikut ini adalah foto-foto suasana pameran.






Gambar Toong (foto: Julimar)

Pengunjung mencoba noong (atas dan bawah). Foto: Julimar

 

Jumat, 07 Oktober 2011

Hari Pertambangan 2011

Ucapan selamat di pintu masuk arena pameran (Foto: Julimar)
Tanggal 28 September diperingati sebagai Hari Pertambangan di Indonesia. Peringatan perdananya baru saja dilaksanakan bersamaan dengan pameran yang berlangsung pada tanggal 28 September  - 2 Oktober 2011 bertempat di Museum Minyak dan Gas Bumi dan Museum Listrik dan Energi Baru, Taman Mini Indonesia Indah. Pameran diikuti oleh berbagai pemangku kepentingan di dunia pertambangan dan energi baik perusahaan swasta maupun instansi pemerintah.




Alat survei antik koleksi Museum Geologi (Foto: Mirza)
Museum Geologi turut mengisi salah satu gerai di bawah Badan Geologi, dengan menampilkan koleksi fosil gading dan rahang stegodon hasil ekskavasi di Flores (Nusa Tenggara Timur). Selain itu Museum Geologi juga membawa koleksi peralatan survei antik buatan Jerman yang berasal dari masa sebelum Perang Dunia II berikut poster sejarah singkat pertambangan di Indonesia. 





Fosil gading & rahang stegodon Flores (foto: Mirza)
Ada hal penting yang perlu diketahui oleh siapapun yang mengikuti pameran. Pameran sebenarnya adalah ajang untuk promosi dan membangun citra positif bagi peserta. Sebuah perusahaan ataupun instansi pemerintah yang mengikuti pameran seyogyanya bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan pameran dan mempersiapkan tenaga yang memadai untuk menjaga gerai dan memberikan informasi kepada pengunjung pameran. Pengunjung pameran adalah masyarakat umum dengan tingkat pengetahuan dan keingintahuan yang sangat beragam. Berpameran secara filosofis adalah memberikan edukasi dan informasi kepada pengunjung tentang apa yang kita tampilkan. Jadi berpameran bukanlah sekedar memajang barang dan aneka produk, melainkan juga memberikan informasi. Setiap barang yang dipamerkan harus disertai dengan informasi yang memadai. Jika peserta pameran tidak menyediakan informasi tertulis tentang apa yang dipamerkannya, maka dia harus menyediakan orang yang mampu (kompeten) memberikan penjelasan dan informasi kepada pengunjung.

Anak-anak serius mencoba teodolit kuno (atas) dan membaca brosur Museum Geologi (bawah). Foto: Julimar




Jangan menyepelekan pengunjung. Itu yang harus tertanam dalam benak setiap peserta dan penyelenggara pameran.