Jumat, 17 September 2010

Pemanduan di Museum


Seorang sahabat bertanya tentang strategi memandu di museum. Adakah referensi khusus untuk topik ini? Sejujurnya, saya belum menemukan referensi khusus yang membahas masalah ini, terutama untuk jenis pemanduan konvensional (secara oral). Untuk pemanduan dengan teknologi elektronik (baik secara audio, visual, maupun tekstual) cukup banyak yang dapat dijadikan referensi. Beberapa di antaranya adalah Using Cinematic Technique in a Multimedia Museum Guide (Zancanaro dkk), An Electronic Museum Guide in Real Use (Bartneck, 2007), Enhancing  Mobile Museum Guide with Public Displays (Ghiani dkk), Location-aware tour guide systems in museums (Chih-Yung Tsai dkk, 2010). Maaf jika yang saya sampaikan adalah referensi berbahasa asing. Setengah mati saya mencari referensi serupa dalam bahasa Indonesia , yang berisi penelitian sejenis untuk museum-museum di Tanah Air, hasilnya nihil. Mungkin pula ilmu saya yang masih sangat sedikit ini yang membuat keterbatasan dalam mencari.

Untuk kasus di museum-museum Tanah Air tampaknya kita semua, khususnya saya pribadi, patut merasa prihatin dengan miskinnya informasi dan referensi tentang pekerjaan permuseuman. Dunia permuseuman di Tanah Air masih menjadi “dunia lain” yang gelap gulita bagi sebagian besar masyarakat kita. Tidak heran penelitian-penelitian tentang museum pun sangat minim, dan ini merupakan cermin kurangnya perhatian masyarakat (termasuk peneliti?) akan museum. Kondisi ini diperburuk oleh sikap museum sendiri yang cenderung arogan dengan beranggapan masyarakat tidak tahu museum, padahal museum pun sering kali tidak peka terhadap kebutuhan masyarakat. Banyak museum memberi kesan tidak serius dalam menata peragaannya hanya karena beranggapan, “Biarlah, toh masyarakat tidak akan ambil pusing.” Belum lagi jika dikaitkan dengan masalah dana. Sikap ini tentu saja tidak menghargai masyarakat, baik sebagai kelompok besar maupun sebagai kelompok kecil pengunjung museum. Masyarakat dianggap bodoh dan tidak tahu apa-apa.

Sekarang, ketika arus informasi sedemikian deras dan perkembangan teknologi sedemikian cepat, museum tidak bisa lagi bersikap arogan seperti itu. Saat ini masyarakat dengan mudah dan cepat menggerakkan jari untuk mencari berbagai informasi di dunia maya, termasuk tentang museum. Mereka mencari informasi tentang museum-museum di negara-negara maju dan membandingkannya dengan museum-museum di Tanah Air. Di titik ini mulai muncul tuntutan, bahkan kritik, dari kelompok kecil ataupun individu terpelajar yang melek internet kepada museum di Tanah Air agar memperbaiki kinerjanya dalam semua segi.

Kembali ke masalah pemanduan. Bercermin pada pengalaman sendiri  dan pengalaman teman-teman sesama pemandu, kemudian menggabungkannya dengan referensi berupa hasil penelitian di museum negara-negara maju, akhirnya saya mendapatkan “ramuan” untuk strategi memandu di museum. Sedikitnya ada lima hal yang perlu diperhatikan ketika memandu di museum, yaitu:
  •     Pengelolaan waktu (time management)
  •     Penekanan pada objek tertentu (highlighting)
  •     Pengaturan arus pengunjung (visitor’s flow)
  •    Pembatasan jumlah pengunjung yang dipandu (minimum   number of visitors)
  •    Kesempatan untuk tanya-jawab (communication).
Pengelolaan waktu merupakan hal yang penting pada waktu memandu. Pemandu dituntut untuk menjelaskan seluruh materi di ruang yang dipandunya dalam waktu relatif singkat. Pemandu juga harus mengetahui berapa banyak waktu yang dimiliki oleh pengunjung. Dengan demikian dia dapat menyampaikan informasi secara optimal. Pengelolaan waktu dengan sendirinya berkaitan dengan highlighting, yaitu penekanan informasi tentang objek tertentu yang dianggap menarik, penting, atau menjadi masterpiece koleksi. Pemandu tidak perlu menjelaskan semua objek, cukup yang penting-penting saja sehingga tidak banyak waktu tersita. Namun highlighting dapat memancing pengunjung untuk bertanya atau bahkan datang kembali ke museum di lain kesempatan. Itu pula sebabnya fokus penekanan harus berganti secara rutin agar pengunjung penasaran untuk mendapatkan informasi lebih jauh. Pergantian bisa per hari atau per minggu (ada penjadwalan). Segi positif sistem ini bagi pemandu adalah mereka pada akhirnya akan menguasai seluruh objek yang ada di ruang peragaan.

Pengelolaan waktu dan highlighting dapat terlaksana dengan baik jika arus pengunjung diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi tabrakan atau menumpuk di satu tempat pada saat bersamaan. Untuk mengatur arus, idealnya pengunjung dibagi menjadi kelompok kecil maksimal 25 orang agar pemanduan berjalan optimal. Suara pemandu masih dapat didengar dengan baik pada lingkup tersebut sehingga pemandu tidak perlu bicara terlalu keras ataupun memakai pengeras suara. Lagi pula pengelompokan seperti ini akan memperkecil kemungkinan bagi pengunjung yang berniat usil merusak/mencoret-coret benda peraga karena pemandu dapat memantau kelompok kecil tersebut. Pengaturan arus pengunjung dengan memasang tali pembatas tampaknya akan cukup membantu dan mempermudah pemanduan. Selain itu perlu juga ada penjadwalan pengunjung rombongan dan individu (buat kategori pengunjung berdasarkan jumlah, atau berdasarkan hari berkunjung).  Pihak museum mempunyai wewenang penuh untuk mengatur semua ini demi ketertiban dan kelancaran aktivitas edukasi di museum. 

Pemandu pada dasarnya adalah juga edukator, jadi mereka harus dilatih untuk mampu memberikan edukasi kepada masyarakat sesuai dengan porsinya. Berkaitan dengan hal ini, dalam proses pemanduan pemandu harus dapat membangkitkan rasa ingin tahu pengunjung, memancing pengunjung untuk mau bertanya,  dan tentunya memberi kesempatan untuk tanya-jawab.
*****
Perlu keinginan kuat dan niat baik dari pengelola museum untuk mewujudkan hal-hal di atas. Integrasi, koordinasi dan komunikasi yang baik harus dibangun di antara sesama pegawai di lingkungan museum, tak terkecuali para pemandu. Tahap awal yang harus dilakukan pengelola museum adalah melakukan simulasi dan evaluasi untuk memastikan efektif tidaknya strategi pemanduan seperti disebutkan di atas. Pada mulanya mungkin ada sedikit “kekacauan” atau bersitegang dengan pengunjung. Tetapi jika museum ingin pesannya sampai kepada sekaligus dipahami oleh masyarakat, maka museum harus berani melakukan terobosan ini. Setidaknya dicoba dulu.

1 komentar: