Kata museum memiliki akar kata klasik. Dalam bentuk bahasa Yunaninya, mouseion, kata ini berarti “tempat kedudukan para Muse” dan menunjukkan sebuah institusi filosofis atau tempat untuk melakukan perenungan. Penggunaan derivat kata ini dalam bahasa Latin, museum, muncul terbatas pada masa Romawi terutama di tempat-tempat diskusi filsafat. Kemudiam the Great Museum di Alexandria, yang didirikan oleh Ptolemy I Soter pada awal abad ke-3 SM, dengan sekumpulan ilmuwan dan perpustakaannya, lebih merupakan prototipe universitas daripada institusi untuk melakukan preservasi dan nterpretasi aspek material warisan budaya. Kata museum muncul kembali pada abad ke-15 di Eropa untuk menyebut koleksi milik Lorenzo de Medici di Florence, tetapi istilah tersebut lebih mengandung konsep mengenai pemahaman daripada merujuk pada sebuah bangunan. Menjelang abad ke-17 kata museum di Eropa digunakan untuk menggambarkan koleksi benda yang
membangkitkan/mengundang keingintahuan. Koleksi Ole Worm di Kopenhagen (lihat foto) juga disebut museum, dan di Inggeris pengunjung koleksi John Tradescants di Lambeth (sekarang London bourough) menyebut kumpulan koleksi di situ sebagai museum; katalog koleksi ini, yang terbit tahun 1656, berjudul Musaeum Tradescantianum. Pada tahun 1675, setelah menjadi milik Elias Ashmole, koleksi ini dipindahkan ke Universitas Oxford. Kemudian dibangun sebuah gedung untuk menampung koleksi tersebut, dan setelah dibuka untuk umum pada tahun 1683 koleksi ini dikenal sebagai Museum Ashmole (Ashmolean Museum). Meskipun ada beberapa ambivalensi dalam penggunaan kata museum dalam undang-undang, yang dirancang pada tahun 1753 untuk mendirikan British Museum, namun gagasan tentang institusi yang disebut museum dan didirikan untuk menyimpan dan memperagakan koleksi kepada umum baru berdiri pada abad ke-18. Sebenarnya, Denis Diderot telah merancang skema rinci untuk museum nasional di Perancis dalam sebuah karya sembilan jilid berjudul Encyclopedie, yang terbit pada tahun 1765.
Penggunaan kata museum selama abad ke-19 dan ke-20 menunjuk pada bangunan untuk menyimpan benda budaya yang dapat diakses oleh masyarakat. Kemudian, ketika museum terus merespon masyarakat yang membangunnya, penekanan pada bangunan pun menjadi tidak begitu dominan. Museum terbuka, yang terdiri atas beberapa gedung yang dilestarikan sebagai objek, dan ekomuseum, yang mencakup interpretasi seluruh aspek lingkungan luar, adalah beberapa contoh di antaranya. Belum lagi yang disebut museum virtual (maya) yang muncul dalam bentuk elektronik di internet. Meskipun menyajikan kesempatan menarik dan memberikan manfaat tertentu bagi museum yang sudah ada, museum virtual (maya) tetap tergantung pada koleksi, preservasi, dan interpretasi benda material yang dikerjakan oleh museum nyata (nirmaya).
(Bersambung...)
Penggunaan kata museum selama abad ke-19 dan ke-20 menunjuk pada bangunan untuk menyimpan benda budaya yang dapat diakses oleh masyarakat. Kemudian, ketika museum terus merespon masyarakat yang membangunnya, penekanan pada bangunan pun menjadi tidak begitu dominan. Museum terbuka, yang terdiri atas beberapa gedung yang dilestarikan sebagai objek, dan ekomuseum, yang mencakup interpretasi seluruh aspek lingkungan luar, adalah beberapa contoh di antaranya. Belum lagi yang disebut museum virtual (maya) yang muncul dalam bentuk elektronik di internet. Meskipun menyajikan kesempatan menarik dan memberikan manfaat tertentu bagi museum yang sudah ada, museum virtual (maya) tetap tergantung pada koleksi, preservasi, dan interpretasi benda material yang dikerjakan oleh museum nyata (nirmaya).
(Bersambung...)
Sumber: Encarta Encyclopaedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar